Aku dan Mahameru

Sedari kecil Aku punya mimpi, ingin berdiri di tanah tertinggi, di pulau yang Aku tinggali. MAHAMERU.

Sudah lama memang Aku ingin ke Semeru, tapi selalu terbentur dengan berbagai kendala. Soal biaya, waktu dan paling penting teman seperjalanan. Sebab, bagiku agak kurang mungkin jika mendaki hanya sendirian, karena tujuan mendaki salah satunya mempererat persahabatan.

Setelah penantian panjang, akhirnya kesempatan itu tiba juga. Tepat sehari sebelum Hari Kebangkitan Nasional  ke-107 Aku menuju gunung tertinggi di Jawa itu bersama seorang teman SMP-ku, Zami. Berbulan-bulan sebelum hari H kami sudah mempersiapkan segalanya. Menggunakan kereta ekonomi Matarmaja dari Stasiun Pasar Senen, kami menuju Malang.

Selasa, 19 Mei 2015

Hari itu Aku masih masuk kantor karena cuma ambil cuti 3 hari (Rabu, Kamis & Jumat).  Setelah sholat zuhur Aku berangkat ke Tebet menjemput Zami, setelah itu kami langsung menuju Stasiun Pasar Senen.

Kami tiba di stasiun sekitar pukul 14:45 WIB. Aku langsung menuju mesin Cetak Tiket Mandiri (CTM) untuk mendapatkan tiket.  Kemudian kami langsung menaiki gerbong pertama yang sebelumnya kami pesan. Sekitar pukul 15:15 WIB, kereta berangkat.

Selama perjalanan, Aku hanya ngotak-ngatik HP dan sesekali mengobrol dengan orang-orang di sekitarku. Ada Mbak Risa yang ternyata juga asal Bogor. Dia mau ke Bali tapi lewat Malang dengan jalur darat. Ada juga Pak Sudianto yang asli Malang. Waktu Aku merasa sangat lapar, bapak satu ini rela memberikan bekal makanan yang dibawanya untukku dan Zami. Ah, Aku berterimakasih sekali.

Masyarakat kita memang ramah-ramah,
Hanya saja kita yang terlalu pongah
Menjelajahlah!
Maka kita akan terperangah

Rabu, 20 Mei 2015

Sekitar pukul 08:30 WIB kami tiba di Stasiun Malang, terlambat sekitar 40 menit dari jadwal. Di situ kami bergabung dengan tiga orang pendaki asal Ciledug, mereka adalah Rico, Taufik dan Redi. Mereka satu gerbong kereta dengan kami.

Kami langsung menuju Taman Pujasera di depan stasiun untuk menemui Mas Irul, temanku asal Malang. Aku kenal dia sewaktu membeli ikat kepala tenun Lombok darinya. Mas Irul ini kerja di JNE, tapi kalau hari libur dia sering jadi tour guide untuk sekitaran kawasan Bromo Semeru Tengger. Aku sengaja menemuinya untuk meminta formulir SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) agar tak perlu repot-repot lagi saat mengurus perizinan di pos pendaftaran. Aku juga membawa oleh-oleh untuknya, kue lapis talas khas Bogor.

Sekitar setengah jam menunggu, Mas Irul datang juga. Ia membonceng seorang perempuan, sepertinya pacarnya. Setelah ia menjelaskan pengisian SIMAKSI, kami pamit dan langsung naik angkot menuju Tumpang. Agak mahal ongkos yang kami keluarkan untuk naik angkot, karena kami cuma berlima dan si sopir minta borongan, Rp. 130 ribu. Niatnya memang kami akan bergabung dengan pendaki lain dari Stasiun Malang untuk masalah transportasi, biar lebih murah. Entah kenapa, hari itu stasiun sepi dari pendaki.

Daripada kesal karena ongkos mahal, lebih baik kami menikmati perjalanan. Aku banyak bertanya soal Kota Malang pada Mas Sopir. Dia juga memperkenalkan dirinya, namanya Mas Nur. Dari logatnya, sepertinya ia asli Malang. Khas sekali. Dia berjanji akan mengantarkan kami ke rumah pemilik Jeep agar kami tak perlu menunggu.

Sekitar pukul setengah sebelas, kami sampai di rumah Pak Laman, pemilik Jeep. Di sana kami istirahat sebentar sambil mempersiapkan persyaratan yang kurang. Mas Nur membantu kami melobi Pak Laman agar memberikan ongkos lebih murah untuk harga rata-rata per orang, bukan borongan. Berhasil, kami cuma dikenakan ongkos Jeep Rp. 60 ribu per orang dari Tumpang ke Ranupani, desa terakhir di kaki Semeru. Kalau harga borongan, sekali jalan ongkosnya Rp. 650 ribu, bisa diisi maksimal sepuluh orang.

Setelah semua siap, kami mulai menaiki Jeep. Diantar Pak Arifin, sopirnya Pak Laman. Pemandangan dari Tumpang menuju Ranupani dipenuhi oleh ladang penduduk. Akses jalannya sudah aspal, walaupun ada beberapa yang rusak. Sampai akhirnya kami tiba di suatu tempat dengan pemandangan yang epic banget. Orang sekitar menyebutnya Bukit Teletubbies karena memang sekilas mirip dengan bukit yang ada di serial kartun Teletubbies. Jalan berpasir membelah lembah dengan hamparan rumput yang menghijau layaknya karpet alami. Di sisi kiri kanannya berdiri kokoh bukut-bukit yang juga sedang menghijau.  Aku meminta Pak Arifin berhenti sejenak untuk menikmati  pemandangan sekalian foto-foto. Setelah puas, kami melanjutkan perjalanan.

Sekitar pukul 12:30 WIB kami sampai di Ranupani (2100 mdpl). Di sini arealnya sangat berdebu. Setelah membayar ongkos, kami langsung menuju loket pendaftaran untuk mengurus SIMAKSI. Fotokopi KTP dan fotokopi Surat Keterangan Sehat wajib dilampirkan.  Formulir SIMAKSI juga harus ditandatangani di atas materai sebagai tanda kita menyetujui peraturan yang ditetapkan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS). Tapi, sebelum membayar tiket masuk kita diwajibkan untuk mengikuti briefing dan pemeriksaan perlengkapan pendakian. Harga tiket Rp. 17.500 untuk hari kerja dan Rp. 22.500 untuk hari libur. Kami membeli tiket untuk empat hari, masing-masing orang dikenakan tarif Rp. 70 ribu.

Sebelum berangkat, kami mengisi perut terlebih dahulu di Warung Nazi (baca: warung nasi) Pak Gareng. Kebetulan Zami kenal dengan Pak Gareng -pernah dengar nama lebih tepatnya-, karena Mas Aji, tetangga Zami, adalah salah satu ranger di Semeru. Kami makan nasi goreng, Rp. 12 ribu. Selesai makan, sekitar pukul 14:30 WIB kami mulai melakukan pendakian. Pemandangan di trek awal berupa ladang penduduk. Berjalan sekitar seratus meter dari Resort Ranupani, kami menemukan gapura bertuliskan “SELAMAT DATANG PARA PENDAKI GUNUNG SEMERU”. Setelah itu kami masuk ke jalan setapak di sebelah kiri jalan menjauhi ladang penduduk. Dari sini lah pendakian dimulai.

Berpose di plang selamat datang
Seperti biasanya, di trek awal Aku selalu kewalahan. Nafasku tersengal bukan main. Padahal jalurnya tidak terlalu menanjak, malah cenderung datar untuk ukuran jalur pendakian. Tapi Aku maklum, tubuhku butuh adaptasi dengan lingkungan dan kondisi Semeru. Beberapa kali kami berpapasan dengan para pendaki yang juga hendak naik ataupun turun. Kami juga bertemu dengan Eki, pendaki asal Malang berambut gondrong layaknya seorang rocker. Dia yang sudah beberapa kali ke Semeru rela meladeni setiap pertanyaan kami dengan ramah. Dia bersama seorang temannya, cuma Aku lupa menanyakan namanya. Duh.

Pukul 18:00 WIB hari mulai gelap. Setelah melewati Landengan Dowo (2300 mdpl), akhirnya kami sampai di Watu Rejeng (2350 mdpl). Kami mulai memakai headlamp untuk membantu penglihatan. Trek di Watu Rejeng berupa jalan setapak dengan tebing batu di sisi kanannya. Udara mulai terasa dingin, beberapa kali kami istirahat untuk memulihkan tenaga.

Sekitar pukul 20:30 WIB, kami tiba di Ranu Kumbolo (2400 mdpl), surganya Semeru. Karena sudah malam, keindahanya tidak terlihat. Hanya terlihat lekukan dua bukit yang menjadi ciri khas tempat ini. Udara sangat dingin malam itu. Buru-buru kami mendirikan tenda. Sekarang ada peraturan baru, mendirikan tenda tidak boleh di tepi danau, minimal sepuluh meter dari bibir danau.

Setelah tenda berdiri, Aku segera merapihkan barang bawaan dan mengambil air untuk memasak. Sekalian Aku berwudhu untuk sholat. Dingin sekali, jari kakiku tak bisa digerakkan. Usai sholat, kami segera memasak untuk makan malam. Badan yang lelah dan perut yang keroncongan membuat makan malam itu terasa begitu nikmat. Perut kenyang, kami langsung merebahkan badan, beringsut masuk ke dalam pelukan sang malam.

Tak pernah sebelumnya kurasakan angin dingin seperti ini
Sepi, menusuk jauh tak cuma ke tulang, tapi sampai ke hati
Ada kedamaian yang tak biasa di sini
Di Ranu Kumbolo

Orang bilang ada surga kecil turun di tengah Semeru
Aku ragu
Sampai akhirnya jejak kakiku dan tatap mataku membuktikan incahnya ciptaan-Mu

Cinta,
Di sini ada sejuta cinta
Terpancar dari setiap sorot mata yang menatapnya

Cita,
Di sini ada seribu cita
Tempat banyak orang menggantungkan mimpinya

Kamu,
Di sini selalu ada Kamu walau kini tak menyertaiku
Kamu yang mencuri separuh hatiku, lalu menempatkannya tepat di sepotong hatimu

Ada Kamu,
Di Ranu Kumbolo
Aku ingin membawa keindahannya padamu, pada hatimu, pada polosnya logikamu
Cuma ada Aku dan Kamu
Mereguk manisnya madu
Di sini,
Di Ranu Kumbolo

Kamis, 21 Mei 2015

Tengah malam tubuhku menggigil. Telapak kakiku seperti ditusuk-tusuk jarum. Belum pernah Aku merasakan suhu sedingin itu. Padahal saat itu Aku mengenakan kaos, sweater, dan jaket gunung dua lapis. Untuk bagian kaki, Aku mengenakan celana training dan kaos kaki. Dan untuk menutup semua badanku, Aku menggunakan sleeping bag. Tapi nyatanya, itu semua tak cukup mampu membendung dinginnya Ranu Kumbolo malam itu.

Aku berharap pagi cepat datang. Tapi setiap kali Aku terbangun, rasanya waktu berjalan lambat sekali. Aku sadar bahwa Aku mulai meracau, tapi Aku tak tahu apa yang kubicarakan. Akhirnya Aku mencoba tidur kembali dengan kaki kulibatkan di kaki Zami. Akhirnya cara itu sukses membuatku pulas.

Sekitar pukul 05:15 WIB Aku bangun. Akhirnya matahari muncul juga dari celah-celah bukit. Aku langsung membangunkan Zami. Saat Aku membuka resleting tenda terasa sulit, agak keras. Aku segera memakai  kacamata dan headlamp karena saat itu kondisi belum terang benar. Ya ampun, ternyata resleting tenda tertutup oleh lapisan es.

Aku segera membuka tenda. Betapa terkejutnya Aku bahwa semua yang kulihat tertutup lapisan es. Semua jadi putih. Rumput, pepohonan, dan barang-barang yang diletakkan di luar tenda tertutup es. Sampai-sampai sandalku tidak bisa digunakan karena berubah menjadi keras. Baru pernah seumur hidup Aku menjumpai  es selain dari kulkas. Hehe.

Es di Ranukumbolo
Aku tak sempat mengukur, cuma Aku yakin suhu malam itu di bawah titik beku nol derajat. Niatnya Aku ingin buang air kecil sebelum sholat, tapi kuurungkan karena pagi itu sangat dingin. Aku takut “senjata pamungkasku” tak berfungsi lagi. Huhu. Akhirnya Aku langsung sholat subuh, bersujud pada Sang Pencipta Ranu Kumbolo beserta udara dinginnya.

Usai sholat, Aku dan Zami berkeliling untuk berfoto. Ranu Kumbolo memang begitu menawan. Airnya yang beriak lamban memberikan ketenangan tersendiri. Rindangnya pepohonan di tepian menambah syahdu suasana. Kabut tipis yang menggantung di atas permukaannya memberikan kesan yang begitu romantis. Matahari yang naik perlahan dari celah dua bukit di ujung danau membuat pagi itu begitu sempurna.

Puas menikmati pemandangan Ranu Kumbolo, kami kembali ke tenda untuk memasak sarapan pagi. Apapun menunya, jika disantap di tempat se-epic itu rasanya akan tetap maknyosss. Sesekali kami menyapa pendaki lain.

Usai sarapan, kami mulai membereskan barang. Saat sedang packing, salah seorang warga asli Tengger menghampiri kami dan menawarkan untuk ikut menyantap sate yang dibuatnya. “Mas, satenya Mas. Monggo,” ajaknya. Karena kami masih sibuk dengan barang-barang bawaan, akhirnya kami tak ikut menikmatinya. Lagipula Aku tak tahu daging apa yang dijadikan sate. Mau bertanya tapi sungkan. Hehe.

Mengabadikan momen di Ranukumbolo

Sekitar pukul 10:30 WIB, kami mulai meninggalkan Ranu Kumbolo. Selanjutnya kami akan melewati trek yang sangat fenomenal, Tanjakan Cinta. Jadi katanya, siapa saja yang berhasil melewati tanjakan ini tanpa menoleh ke belakang, maka permohonan cintanya akan terkabul.

Foto berlatar Tanjakan Cinta yang legendaris
Saat Aku melewatinya, Aku tak kuasa menahan godaan untuk menoleh ke belakang. Dan akibatnya, Aku menyaksikan pemandangan yang luar biasa menakjubkan. Ranu Kumbolo terlihat begitu indah dari Tanjakan Cinta.

Setelah istirahat sejenak di ujung trek Tanjakan Cinta, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami harus melewati padang sabana dengan luas sekira 20 hektar, Oro-Oro Ombo (2460 mdpl). Saat kami datang, bunga Verbena brasiliensis sedang mekar. Warnanya ungu, cantik sekali. Karena warnanya itu, banyak pendaki mengiranya lavender.

Oro-Oro Ombo
Tak lama melewati Oro-Oro Ombo, kami tiba di Cemoro Kandang (2500 mdpl). Dinamakan seperti itu sebab di area ini dipenuhi oleh cemara gunung. Cukup banyak pendaki beristirahat di sini, mengisi tenaga untuk selanjutnya melewati trek menanjak. Karenanya, di Cemoro Kandang juga ada beberapa orang Tengger yang berjualan makanan. Gorengan, es dan buah-buahan jadi dagangan mereka.

Saat istirahat dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian. Trek Cemoro Kandang menanjak, cukup menguras tenaga. Tapi semua itu terbayar dengan pemandangan indah dan udara sejuknya. Sekitar 1,5 jam kemudian kami tiba di Jambangan (2600 mdpl).

Dari Jambangan, Mahameru sudah terlihat jelas. Gagah sekali. Pasir putihnya begitu menggoda untuk didaki. Kami istirahat sejenak dan berfoto berlatar gunung tertinggi di tanah Jawa. Setelah tenaga dirasa cukup pulih, kami melanjutkan perjalanan.

Pos selanjutnya adalah Kalimati (2700 mdpl), persinggahan terakhir sebelum kami menginjakkan kaki di pasir Mahameru untuk summit attack. Trek dari Jambangan menuju Kalimati cuma menurun. Sekitar 30 menit kemudian, kami sudah sampai. Kalimati berupa lahan lapang yang ditumbuhi ilalang dan edelweis. Cuma saja pohon edelweis di sini tidak terlalu banyak, hanya beberapa saja.

Kalimati berlatar Puncak Mahameru
Saat itu sekitar pukul 16:30 WIB. Usai mendirikan tenda, Aku, Taufik dan Rico mengambil air untuk memasak. Jarak ke sumber air dari kalimati memakan waktu 45 menit bolak balik. Namanya Sumber Mani. Sebenarnya airnya cuma menetes, tapi karena tetesannya banyak sehingga bisa ditampung menggunakan botol air mineral yang bawahnya sudah dibolongi. Saat perjalanan mengambil air, Aku merasakan ada yang tidak beres dengan kakiku. Lutut kiriku terasa nyeri sekali. Aku berharap tidak terjadi apa-apa dan tetap kuat untuk summit attack.  

Sesampainya kembali di tenda, kami sholat bergantian lalu memasak. Tak banyak yang kami lakukan di Kalimati. Lepas maghrib, kami masuk tenda untuk tidur. Aku memasang alarm, rencananya kami bangun jam sembilan malam untuk persiapan muncak.

Ada kejadian ganjil saat aku tidur. Antara sadar dan tidak, Aku mendengar suara seorang bapak bilang, “Nanti yang bakal nolongin teman-teman namanya Taufik.” Saat itu aku langsung teringat bahwa dalam rombongan kami ada yang bernama Taufik.

Jam sembilan malam kami bangun. Kami mulai memasak untuk makan malam. Sebelum muncak perut harus terisi, mengingat udara dingin dan medan berat yang akan menguras banyak energi. Malam itu kami makan nasi goreng mentega dan sup jagung. Cukup lah untuk menghalau dingin yang menerpa kami.

Usai makan dan menyiapkan perlengkapan untuk summit attack, kami berdoa sejenak, memohon kepada Allah SWT supaya pendakian kami baik-baik saja. Bisa menggapai puncak tertinggi Jawa tanpa kekurangan apapun. Aku juga menyampaikan kepada teman-teman tentang pengalaman mistis yang kualami saat tidur. Kami cuma berharap, itu adalah pertanda bahwa kami diminta tetap berhati-hati.
Sekitar pukul 23:15 WIB, kami berangkat.

Jumat, 22 Mei 2015

Satu jam pendakian dari Kalimati, kami tiba di Arcopodo (2900 mdpl). Trek menuju Arcopodo merupakan pasir halus dengan kemiringan yang cukup curam. Hujan abu vulkanik mulai bisa dirasakan selama perjalanan, pertanda Semeru masih aktif.

Di perjalanan, beberapa kali kami menemukan plakat bertuliskan nama pendaki yang meninggal dunia di Arcopodo, salah satunya bernama Taufik. Aku tak tahu, apakah hal ini ada hubungannya atau tidak dengan mimpiku sebelum berangkat.

Sekitar pukul 00:30 WIB, kami sampai di batas vegetasi. Selanjutnya, hingga ke puncak Mahameru kami hanya akan melewati trek pasir labil. Orang sering menyebutnya trek 3-2, setiap naik tiga langkah akan turun lagi dua langkah. Kukira-kira lebar jalur sekitar lima meter.

Jarak pandang sekitar 20 meter saat itu. Angin dingin berhembus kencang sekali, langsung menerpa tubuh. Ternyata mendaki trek berpasir lebih susah dari dugaanku. Rasanya berat sekali kalau harus mendaki secara vertikal, Aku selalu kehabisan napas. Akhirnya kucoba untuk mendaki secara diagonal, mengambil jalur zigzag. Ini lebih baik, tak terlalu menguras tenaga. Konsekuensinya, waktu yang kubutuhkan untuk sampai puncak lebih lama.

Sudah tak terhitung berapa kali kami istirahat selama perjalanan. Sesekali kami bergantian meneguk susu panas yang dibawa Redi, lumayan untuk menghangatkan badan. Kami terus mendaki. Aku mulai tertinggal oleh yang lainnya.

Pukul 04:30 WIB, semburat jingga mulai mucul di ufuk timur. Pemandangan menakjubkan mulai terlihat, samudera di atas awan. Aku benar-benar berada di atas awan. Aku berhenti sejenak untuk mengabadikan momen istimewa itu dengan kamera saku yang kubawa.

Sunrise di trek berpasir
Setengah jam kemudian, langit sudah terang. Kulihat ke atas, Mahameru semakin menantang. Seakan tak ada ujungnya. Zami, Redi dan Rico sudah tak terlihat. Mungkin mereka sudah sampai di puncak. Aku melanjutkan pendakian. Di depan kulihat Taufik sedang duduk, mual katanya. Saat hendak Ku temani, ia menyuruhku duluan saja. Katanya ia baik-baik saja. Aku memutuskan untuk lanjut sambil sesekali melihat kondisinya.

Kulihat jam tangan saat Zami memanggilku dari atas. Saat itu pukul 06:00 WIB. Aku segera menghampirinya. Sesampainya aku di atas, dia langsung merangkulku. “Sekarang lo jadi orang paling tinggi se-Jawa,” katanya. Angin berhembus sangat kencang, dingin sekali. Aku segera menghampiri tiang dengan plat bertuliskan “PUNCAK MAHAMERU 3676 MDPL”. Saat itu Aku tak bisa berkata-kata, cuma isak tangis mengagumi kebesaran-Nya. Aku langsung tersungkur sujud menyukuri setiap kesempatan yang diberi untuk menyadari bahwa manusia adalah makhluk lemah. Aku juga menyukuri bahwa tekad sekuat baja bisa membawaku ke atap Jawa.

Berfoto di puncak tertinggi Jawa
Tak lama kemudian Taufik tiba. Kami mengabadikan momen indah itu sepuas-puasnya. Bergantian foto dengan latar kawah Jonggring Salaka yang sedang menyemburkan asapnya. Saat itu benar-benar kuakui dalam keadaan sesadar-sadarnya bahwa Indonesia memang sungguh memesona. Mereka yang membencinya mungkin terlalu lama berdiam diri di kota.

Cuma dia yang bisa
Saat Aku menggapai puncaknya, Aku tak bisa berkata apa-apa
Bibir kelu rasanya
Hanya ada pipi yang basah karena air mata
Mahameru, tanah tertinggi di Jawa

Aku sempat bertanya-tanya
Saat kujejaki pasirnya
Kapankah akan berakhir?
Hanya saja kupasrahkan kaki melangkah
Kalau sudah saatnya, pasti akan sampai juga
Mahameru, puncak abadi para dewa

Sempat Aku hendak menyerah
Saat jiwa dan raga ditekan sampai titik terendah
Aku sadar,
Engkau Maha Besar, aku terlalu pongah
Mahameru, secuil surga yang tercecer dari antah berantah

Mahameru selalu tawarkan pelukannya
Kepada siapa saja yang berani melangkahkan kakinya
Meyakini bahwa mimpi itu dekat,
Di depan mata

Aku dan Mahameru
Terimakasih telah memelukku
Mengizinkanku berdiri di atasmu
Jadi orang tertinggi di tanah ini
Aku janji, akan kubawa semangat ini ke kota
Kalau Aku menghadapi ujian berat,
Mahameru akan selalu kuingat
Bahwa Aku berani melangkahkan kaki

Cukup letakkan mata, hati, tangan dan kaki pada tempatnya
Gunakan sebagaimana mestinya
Bersyukurlah
Aku sungguh jatuh cinta padamu,
Hai Mahameru

Aku tak kuat berlama-lama berdiri di Mahameru. Udaranya dingin sekali. Pukul 06:30 WIB kami putuskan untuk turun. Saat itu Aku merasa terserang mountain sickness, penyakit langganan pendaki dikarenakan perubahan ketinggian. Kepala rasanya pusing sekali dan perut mual, tapi kupaksakan untuk melangkah.

Perjalanan turun sebenarnya sangat mengasyikkan. Pasir yang labil sangat memudahkan langkah kami. Rasanya seperti bermain ski, terlebih Aku menggunakan trekking pole. Tinggal meletakkan tumit saja kami sudah turun beberapa langkah. Cuma harus hati-hati jangan sampai menginjak batu karena bisa jatuh terguling.

Perjalanan turun dari Mahameru
Pukul 08:30 WIB kami sampai di Kalimati. Badan sudah sangat lelah saat itu. Setelah beres-beres sebentar, Aku langsung tidur. Awalnya Aku tidur di luar tenda beralaskan matras, tapi angin dingin memaksaku masuk ke dalam tenda.

Tidurku lelap sekali siang itu. Jam setengah tiga sore Aku dibangunkan oleh Taufik, Rico dan Redi. Mereka mau mengambil air. Aku bangun dan mulai membereskan barang. Pukul 15:30 WIB Aku dan Zami memasak untuk mengisi perut, sedangkan yang lainnya mulai packing barang bawaan. Sudah makan duluan katanya.

Usai makan kami sholat dan mulai packing. Tepat pukul 17:15 WIB kami bergerak meninggalkan Kalimati. Rencananya kami akan bermalam lagi di Ranukumbolo. Saat memasuki Cemoro Kandang, kami bertemu satu rombongan yang memutuskan untuk menginap di sana. Kami mendengar suara perempuan menangis dari dalam tenda, sementara teman-temannya menenangkannya. Kami pikir mungkin dia kelelahan. Tak jauh kami melangkah, tangisan berubah menjadi jeritan dan tawa seperti tayangan uji nyali. Sepertinya dia kerasukan. Kami berhenti sejenak untuk menenangkan diri.

Tak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan. Saat di Oro-Oro Ombo, karena suasana sudah gelap kami sempat salah pilih jalan. Seharusnya lurus, kami malah melipir ke kanan. Zami segera mencari jalur yang benar, kami pun mengikutinya.

Kurang lebih jam tujuh malam kami tiba di Ranu Kumbolo. Suasananya ramai sekali malam itu. Maklum, memang lebih banyak pendaki yang memilih melakukan pendakian pada akhir pekan. Kami segera mencari tempat terbaik untuk mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, kami segara masuk tenda masing-masing. Aku menyempatkan memasak spageti untuk mengisi perut. Usai makan, kami langsung tidur.

Sabtu, 23 Mei 2015

Malam itu Ranu Kumbolo tak sedingin sebelumnya. Aku tidur pulas. Pukul 05:00 WIB Aku bangun karena suara pendaki yang mulai beraktivitas. Aku membuka tenda, tak ada lapisan-lapisan es seperti malam sebelumnya. Sejenak kusujudkan kening ke hadirat Sang Penguasa jagat semesta.

Tak lama kemudian Aku mengajak Zami untuk mengelilingi Ranu Kumbolo guna mencari spot terbaik untuk berfoto. Pagi itu suasana terasa begitu tenang, begitu mendamaikan. Tak salah memang jika banyak orang menyebut danau ini sebagai surganya Semeru.

Pagi di Ranukumbolo

Ranukumbolo nan syahdu
Puas menikmati Ranu Kumbolo, kami langsung memasak untuk sarapan. Perut kenyang, kami langsung packing untuk kemudian turun. Sekitar jam sembilan pagi, kami mulai turun. Estimasi waktu perjalanan hingga ke Ranu Pani sekitar lima jam.

Di tengah perjalanan, kami bertemu Mas Fanny, salah satu pendaki asal Surabaya. Setelah tahu Aku dan Zami akan pulang menggunakan pesawat dari Surabaya, dia pun mengajak kami pulang bareng.  Kami pun sepakat. Jam tiga sore kami sampai di Ranu Pani. Aku menyempatkan diri sebentar membeli souvenir di warung warga sekitar basecamp.

Karena badan sudah sangat lengket, Aku segera mengambil baju ganti dan menuju toilet umum. Tanpa tedeng aling-aling, Aku langsung mengguyur badan. Brrrrrrr… tak kusangka airnya sangat dingin. Sampai-sampai jantung rasanya mau copot saat air mengenai badan.

Usai mandi Aku sholat lalu kemudian berkumpul bersama rombongan untuk menunggu angkutan yang akan membawa kami turun ke Tumpang. Soal tawar menawar, kami percayakan pada Mas Fanny yang bisa bahasa Jawa. Pukul setengah lima sore kami turun. Kali ini bukan naik Jeep, tapi truk. Per orang dikenakan ongkos Rp. 65 ribu. Berdasarkan informasi, Jeep hanya melayani penumpang sampai jam 4 sore.

Udara sangat dingin sore itu. Katanya, kalau cuaca sedang ekstrem, suhu di Ranu Pani bisa turun sampai -25˚C. Pukul 18:30 WIB kami sampai di Tumpang. Di situ Aku berpisah dengan Rico, Taufik dan Redi. Mereka akan menginap semalam lagi di rumah temannya di Malang, sementara aku dan Zami langsung ke Surabaya bersama Mas Fanny.

Aku langsung menuju masjid untuk sholat. Aku lupa bahwa Aku sedang berada di Jawa Timur yang waktu sholatnya masuk lebih cepat dari Jabodetabek. Akhirnya Aku ketinggalan waktu maghrib karena sempat istirahat sebentar, kemudian Aku jamak di isya. Selesai sholat Aku membeli oleh-oleh khas Malang di Pasar Tumpang, keripik apel.

Setelah Mas Fanny mendapatkan angkot, kami langsung menuju terminal Arjosari. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Surabaya dengan Bus Restu. Ongkosnya Rp. 15 ribu per orang. Karena badan sudah sangat lelah, Aku tertidur selama perjalanan menuju Surabaya.

Sekitar pukul sepuluh malam, kami tiba di terminal Bungur Asih. Rencananya kami akan langsung ke Bandara, tapi atas saran Mas Fanny lebih baik kami bermalam di terminal karena khawatir di bandara tidak boleh dipakai untuk istirahat. Aku sengaja tidak menyewa penginapan karena budget sudah sangat tipis. Tak lama kemudian Mas Fanny izin pamit. Aku sangat berterimakasih padanya yang rela membantu kami.

Aku dan Zami langsung mencari tempat yang nyaman di sudut ruang tunggu penumpang. Usai meletakkan barang, Aku langsung mencari ATM dan membeli makan malam. Kami sepakat untuk tidur secara bergantian untuk memastikan bawaan tetap aman. Ternyata Surabaya lebih panas dari Jakarta.

Minggu, 24 Mei 2015

Pukul 04:00 WIB kami bangun dan langsung mencari masjid untuk sholat subuh. Usai sholat kami merapikan bawaan dan ngopi sejenak. Sekitar jam setengah tujuh pagi kami berangkat ke Bandara Juanda menggunakan bus DAMRI.

Pukul 07:00 WIB kami tiba di bandara. Karena boarding masih lama, kami santai sebentar di area luar bandara. Aku dan Zami bersenda gurau sembari merencanakan puncak mana lagi yang akan kami daki. Percaya padaku Kawan, sekali Kau mendaki Kau akan kecanduan. Jatuh cinta pada ketinggian.

Jam sembilan pagi lebih sedikit kami masuk bandara, mengurus bagasi kemudian boarding. Saat pemeriksaan, metal detector terus berbunyi ketika memeriksa tas Zami. Akhirnya kami terpaksa membongkar isi tas di depan petugas. Ternyata pisau lipat terbawa di tas yang akan dimasukkan ke kabin. Seharusnya pisau itu masuk ke dalam carrier yang ada di bagasi. Sesuai prosedur, Aku mengurus penitipan pisau itu kepada pramugari untuk kemudian diambil kembali sesampainya kami di tujuan.

Sekitar satu jam penerbangan, kami tiba di Soekarno-Hatta. Setelah memastikan semua barang bawaan aman, Aku dan Zami berpisah. Dia naik bus tujuan Pasar Minggu, sementara aku ke Cibinong.

Pukul 13:00 WIB, Aku tiba di rumah. Puncak sesungguhnya dari sebuah pendakian. Memang benar, saat kita berada di kaki gunung, kita akan merindukan puncak. Saat kita berada di puncak, kita akan merindukan berkumpul kembali dengan keluarga.

Mendaki dan berdiri di puncak Mahameru adalah salah satu impian terbesar di hidupku. Sejak aku mengenal dunia pendakian, Aku selalu memimpikan untuk berdiri di atap Pulau Jawa.

Terimakasih, Tuhan. Kau masih memberiku waktu untuk mendaki Sang Mahameru.

Sejak pertama kutahu dirimu
Aku tergoda
Ingin sekali rasanya berada di pelukmu
Seperti orang-orang itu

Akhirnya tiba saat kubisa
Menjejakkan kakiku di sana
Bahagia dan penasaran bercampur jadi satu
Semeru, terima Aku dalam pelukmu

Aku begitu menikmati malam pertama di danau impian, Ranu Kumbolo
Aku terlelap di bawah gemintang yang sesekali menunjukkan aksinya
Dingin, sepi, begitu syahdu
Begitu romantis

Di belakangnya, ada Tanjakan Cinta
Begitu fenomenal
Aku tegoda
Orang bilang, siapa yang bisa melewatinya tanpa menoleh ke belakang, cintanya akan tercapai

Ah, Aku tak peduli
Ranu Kumbolo terlihat begitu seksi dari sini
Sekali lagi,
Aku dibuat terkejut oleh Semeru

Ada padang sabana yang sangat memukau, Oro-Oro Ombo
Hijau rerumputan dan ungunya bunga Verbena brasiliensis seakan menyatu
Cantik sekali

Akhirnya kuberdiri di tanah tertinggi
Puncak abadi para dewa
Mahameru tunjukkan pesonanya
Semeru, padamu Aku jatuh cinta

1 komentar:

Anonim mengatakan...

How to make money - make money - Worktomakemoney
Making money online is easy. Learn how to หาเงินออนไลน์ make money gambling online, and learn 온카지노 how 메리트 카지노 쿠폰 to make money gambling today. Learn about what makes