Sedari kecil Aku punya
mimpi, ingin berdiri di tanah tertinggi, di pulau yang Aku tinggali. MAHAMERU.
Sudah lama memang Aku ingin ke Semeru, tapi selalu terbentur
dengan berbagai kendala. Soal biaya, waktu dan paling penting teman seperjalanan.
Sebab, bagiku agak kurang mungkin jika mendaki hanya sendirian, karena tujuan
mendaki salah satunya mempererat persahabatan.
Setelah penantian panjang, akhirnya kesempatan itu tiba juga.
Tepat sehari sebelum Hari Kebangkitan Nasional
ke-107 Aku menuju gunung tertinggi di Jawa itu bersama seorang teman
SMP-ku, Zami. Berbulan-bulan sebelum hari H kami sudah mempersiapkan segalanya.
Menggunakan kereta ekonomi Matarmaja dari Stasiun Pasar Senen, kami menuju
Malang.
Hari itu Aku masih masuk kantor karena cuma ambil cuti 3
hari (Rabu, Kamis & Jumat). Setelah
sholat zuhur Aku berangkat ke Tebet menjemput Zami, setelah itu kami langsung
menuju Stasiun Pasar Senen.
Kami tiba di stasiun sekitar pukul 14:45 WIB. Aku langsung
menuju mesin Cetak Tiket Mandiri (CTM) untuk mendapatkan tiket. Kemudian kami langsung menaiki gerbong pertama
yang sebelumnya kami pesan. Sekitar pukul 15:15 WIB, kereta berangkat.
Selama perjalanan, Aku hanya ngotak-ngatik HP dan sesekali mengobrol dengan orang-orang di
sekitarku. Ada Mbak Risa yang ternyata juga asal Bogor. Dia mau ke Bali tapi
lewat Malang dengan jalur darat. Ada juga Pak Sudianto yang asli Malang. Waktu
Aku merasa sangat lapar, bapak satu ini rela memberikan bekal makanan yang
dibawanya untukku dan Zami. Ah, Aku berterimakasih sekali.
Masyarakat kita memang ramah-ramah,
Hanya saja kita yang terlalu pongah
Menjelajahlah!
Maka kita akan terperangah
Rabu, 20 Mei 2015
Sekitar pukul 08:30 WIB kami tiba di Stasiun Malang,
terlambat sekitar 40 menit dari jadwal. Di situ kami bergabung dengan tiga
orang pendaki asal Ciledug, mereka adalah Rico, Taufik dan Redi. Mereka satu
gerbong kereta dengan kami.
Kami langsung menuju Taman Pujasera di depan stasiun untuk
menemui Mas Irul, temanku asal Malang. Aku kenal dia sewaktu membeli ikat
kepala tenun Lombok darinya. Mas Irul ini kerja di JNE, tapi kalau hari libur
dia sering jadi tour guide untuk
sekitaran kawasan Bromo Semeru Tengger. Aku sengaja menemuinya untuk meminta
formulir SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) agar tak perlu
repot-repot lagi saat mengurus perizinan di pos pendaftaran. Aku juga membawa
oleh-oleh untuknya, kue lapis talas khas Bogor.
Sekitar setengah jam menunggu, Mas Irul datang juga. Ia
membonceng seorang perempuan, sepertinya pacarnya. Setelah ia menjelaskan
pengisian SIMAKSI, kami pamit dan langsung naik angkot menuju Tumpang. Agak
mahal ongkos yang kami keluarkan untuk naik angkot, karena kami cuma berlima
dan si sopir minta borongan, Rp. 130 ribu. Niatnya memang kami akan bergabung dengan
pendaki lain dari Stasiun Malang untuk masalah transportasi, biar lebih murah.
Entah kenapa, hari itu stasiun sepi dari pendaki.
Daripada kesal karena ongkos mahal, lebih baik kami
menikmati perjalanan. Aku banyak bertanya soal Kota Malang pada Mas Sopir. Dia
juga memperkenalkan dirinya, namanya Mas Nur. Dari logatnya, sepertinya ia asli
Malang. Khas sekali. Dia berjanji akan mengantarkan kami ke rumah pemilik Jeep
agar kami tak perlu menunggu.
Sekitar pukul setengah sebelas, kami sampai di rumah Pak
Laman, pemilik Jeep. Di sana kami istirahat sebentar sambil mempersiapkan
persyaratan yang kurang. Mas Nur membantu kami melobi Pak Laman agar memberikan
ongkos lebih murah untuk harga rata-rata per orang, bukan borongan. Berhasil,
kami cuma dikenakan ongkos Jeep Rp. 60 ribu per orang dari Tumpang ke Ranupani,
desa terakhir di kaki Semeru. Kalau harga borongan, sekali jalan ongkosnya Rp.
650 ribu, bisa diisi maksimal sepuluh orang.
Setelah semua siap, kami mulai menaiki Jeep. Diantar Pak
Arifin, sopirnya Pak Laman. Pemandangan dari Tumpang menuju Ranupani dipenuhi
oleh ladang penduduk. Akses jalannya sudah aspal, walaupun ada beberapa yang
rusak. Sampai akhirnya kami tiba di suatu tempat dengan pemandangan yang epic banget. Orang sekitar menyebutnya
Bukit Teletubbies karena memang sekilas mirip dengan bukit yang ada di serial
kartun Teletubbies. Jalan berpasir membelah lembah dengan hamparan rumput yang
menghijau layaknya karpet alami. Di sisi kiri kanannya berdiri kokoh
bukut-bukit yang juga sedang menghijau. Aku
meminta Pak Arifin berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan sekalian foto-foto. Setelah puas,
kami melanjutkan perjalanan.
Sekitar pukul 12:30 WIB kami sampai di Ranupani (2100 mdpl).
Di sini arealnya sangat berdebu. Setelah membayar ongkos, kami langsung menuju
loket pendaftaran untuk mengurus SIMAKSI. Fotokopi KTP dan fotokopi Surat
Keterangan Sehat wajib dilampirkan.
Formulir SIMAKSI juga harus ditandatangani di atas materai sebagai tanda
kita menyetujui peraturan yang ditetapkan Balai Besar Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru (BB TNBTS). Tapi, sebelum membayar tiket masuk kita diwajibkan
untuk mengikuti briefing dan
pemeriksaan perlengkapan pendakian. Harga tiket Rp. 17.500 untuk hari kerja dan
Rp. 22.500 untuk hari libur. Kami membeli tiket untuk empat hari, masing-masing
orang dikenakan tarif Rp. 70 ribu.
Sebelum berangkat, kami mengisi perut terlebih dahulu di
Warung Nazi (baca: warung nasi) Pak Gareng. Kebetulan Zami kenal dengan Pak
Gareng -pernah dengar nama lebih tepatnya-, karena Mas Aji, tetangga Zami,
adalah salah satu ranger di Semeru.
Kami makan nasi goreng, Rp. 12 ribu. Selesai makan, sekitar pukul 14:30 WIB
kami mulai melakukan pendakian. Pemandangan di trek awal berupa ladang
penduduk. Berjalan sekitar seratus meter dari Resort Ranupani, kami menemukan
gapura bertuliskan “SELAMAT DATANG PARA
PENDAKI GUNUNG SEMERU”. Setelah itu kami masuk ke jalan setapak di sebelah
kiri jalan menjauhi ladang penduduk. Dari sini lah pendakian dimulai.
Berpose di plang selamat datang |
Pukul 18:00 WIB hari mulai gelap. Setelah melewati Landengan
Dowo (2300 mdpl), akhirnya kami sampai di Watu Rejeng (2350 mdpl). Kami mulai
memakai headlamp untuk membantu
penglihatan. Trek di Watu Rejeng berupa jalan setapak dengan tebing batu di
sisi kanannya. Udara mulai terasa dingin, beberapa kali kami istirahat untuk
memulihkan tenaga.
Sekitar pukul 20:30 WIB, kami tiba di Ranu Kumbolo (2400
mdpl), surganya Semeru. Karena sudah malam, keindahanya tidak terlihat. Hanya
terlihat lekukan dua bukit yang menjadi ciri khas tempat ini. Udara sangat
dingin malam itu. Buru-buru kami mendirikan tenda. Sekarang ada peraturan baru,
mendirikan tenda tidak boleh di tepi danau, minimal sepuluh meter dari bibir
danau.
Setelah tenda berdiri, Aku segera merapihkan barang bawaan
dan mengambil air untuk memasak. Sekalian Aku berwudhu untuk sholat. Dingin
sekali, jari kakiku tak bisa digerakkan. Usai sholat, kami segera memasak untuk
makan malam. Badan yang lelah dan perut yang keroncongan membuat makan malam
itu terasa begitu nikmat. Perut kenyang, kami langsung merebahkan badan,
beringsut masuk ke dalam pelukan sang malam.
Tak pernah
sebelumnya kurasakan angin dingin seperti ini
Sepi,
menusuk jauh tak cuma ke tulang, tapi sampai ke hati
Ada
kedamaian yang tak biasa di sini
Di Ranu Kumbolo
Orang bilang
ada surga kecil turun di tengah Semeru
Aku ragu
Sampai akhirnya jejak
kakiku dan tatap mataku membuktikan incahnya ciptaan-Mu
Cinta,
Di sini ada
sejuta cinta
Terpancar dari setiap
sorot mata yang menatapnya
Cita,
Di sini ada
seribu cita
Tempat banyak orang
menggantungkan mimpinya
Kamu,
Di sini
selalu ada Kamu walau kini tak menyertaiku
Kamu yang
mencuri separuh hatiku, lalu menempatkannya tepat di sepotong hatimu
Ada Kamu,
Di Ranu Kumbolo
Aku ingin
membawa keindahannya padamu, pada hatimu, pada polosnya logikamu
Cuma ada Aku
dan Kamu
Mereguk
manisnya madu
Di sini,
Di Ranu Kumbolo
Kamis, 21 Mei 2015
Tengah malam tubuhku menggigil. Telapak kakiku seperti ditusuk-tusuk
jarum. Belum pernah Aku merasakan suhu sedingin itu. Padahal saat itu Aku
mengenakan kaos, sweater, dan jaket
gunung dua lapis. Untuk bagian kaki, Aku mengenakan celana training dan kaos kaki. Dan untuk menutup semua badanku, Aku
menggunakan sleeping bag. Tapi
nyatanya, itu semua tak cukup mampu membendung dinginnya Ranu Kumbolo malam
itu.
Aku berharap pagi cepat datang. Tapi setiap kali Aku
terbangun, rasanya waktu berjalan lambat sekali. Aku sadar bahwa Aku mulai meracau,
tapi Aku tak tahu apa yang kubicarakan. Akhirnya Aku mencoba tidur kembali
dengan kaki kulibatkan di kaki Zami. Akhirnya cara itu sukses membuatku pulas.
Sekitar pukul 05:15 WIB Aku bangun. Akhirnya matahari muncul
juga dari celah-celah bukit. Aku langsung membangunkan Zami. Saat Aku membuka
resleting tenda terasa sulit, agak keras. Aku segera memakai kacamata dan headlamp karena saat itu kondisi belum terang benar. Ya ampun,
ternyata resleting tenda tertutup oleh lapisan es.
Aku segera membuka tenda. Betapa terkejutnya Aku bahwa semua
yang kulihat tertutup lapisan es. Semua jadi putih. Rumput, pepohonan, dan
barang-barang yang diletakkan di luar tenda tertutup es. Sampai-sampai sandalku
tidak bisa digunakan karena berubah menjadi keras. Baru pernah seumur hidup Aku
menjumpai es selain dari kulkas. Hehe.
Es di Ranukumbolo |
Usai sholat, Aku dan Zami berkeliling untuk berfoto. Ranu
Kumbolo memang begitu menawan. Airnya yang beriak lamban memberikan ketenangan
tersendiri. Rindangnya pepohonan di tepian menambah syahdu suasana. Kabut tipis
yang menggantung di atas permukaannya memberikan kesan yang begitu romantis.
Matahari yang naik perlahan dari celah dua bukit di ujung danau membuat pagi
itu begitu sempurna.
Puas menikmati pemandangan Ranu Kumbolo, kami kembali ke
tenda untuk memasak sarapan pagi. Apapun menunya, jika disantap di tempat se-epic itu rasanya akan tetap maknyosss. Sesekali kami menyapa pendaki
lain.
Usai sarapan, kami mulai membereskan barang. Saat sedang packing, salah seorang warga asli
Tengger menghampiri kami dan menawarkan untuk ikut menyantap sate yang
dibuatnya. “Mas, satenya Mas. Monggo,” ajaknya. Karena kami masih sibuk dengan
barang-barang bawaan, akhirnya kami tak ikut menikmatinya. Lagipula Aku tak
tahu daging apa yang dijadikan sate. Mau bertanya tapi sungkan. Hehe.
Sekitar pukul 10:30 WIB, kami mulai meninggalkan Ranu
Kumbolo. Selanjutnya kami akan melewati trek yang sangat fenomenal, Tanjakan
Cinta. Jadi katanya, siapa saja yang berhasil melewati tanjakan ini tanpa
menoleh ke belakang, maka permohonan cintanya akan terkabul.
Foto berlatar Tanjakan Cinta yang legendaris |
Setelah istirahat sejenak di ujung trek Tanjakan Cinta, kami
melanjutkan perjalanan. Kali ini kami harus melewati padang sabana dengan luas sekira
20 hektar, Oro-Oro Ombo (2460 mdpl). Saat kami datang, bunga Verbena brasiliensis sedang mekar.
Warnanya ungu, cantik sekali. Karena warnanya itu, banyak pendaki mengiranya
lavender.
Oro-Oro Ombo |
Saat istirahat dirasa cukup, kami melanjutkan pendakian.
Trek Cemoro Kandang menanjak, cukup menguras tenaga. Tapi semua itu terbayar
dengan pemandangan indah dan udara sejuknya. Sekitar 1,5 jam kemudian kami tiba
di Jambangan (2600 mdpl).
Dari Jambangan, Mahameru sudah terlihat jelas. Gagah sekali.
Pasir putihnya begitu menggoda untuk didaki. Kami istirahat sejenak dan berfoto
berlatar gunung tertinggi di tanah Jawa. Setelah tenaga dirasa cukup pulih,
kami melanjutkan perjalanan.
Pos selanjutnya adalah Kalimati (2700 mdpl), persinggahan
terakhir sebelum kami menginjakkan kaki di pasir Mahameru untuk summit attack. Trek dari Jambangan
menuju Kalimati cuma menurun. Sekitar 30 menit kemudian, kami sudah sampai.
Kalimati berupa lahan lapang yang ditumbuhi ilalang dan edelweis. Cuma saja pohon
edelweis di sini tidak terlalu banyak, hanya beberapa saja.
Kalimati berlatar Puncak Mahameru |
Sesampainya kembali di tenda, kami sholat bergantian lalu
memasak. Tak banyak yang kami lakukan di Kalimati. Lepas maghrib, kami masuk
tenda untuk tidur. Aku memasang alarm, rencananya kami bangun jam sembilan
malam untuk persiapan muncak.
Ada kejadian ganjil saat aku tidur. Antara sadar dan tidak, Aku
mendengar suara seorang bapak bilang, “Nanti yang bakal nolongin teman-teman
namanya Taufik.” Saat itu aku langsung teringat bahwa dalam rombongan kami ada
yang bernama Taufik.
Jam sembilan malam kami bangun. Kami mulai memasak untuk
makan malam. Sebelum muncak perut
harus terisi, mengingat udara dingin dan medan berat yang akan menguras banyak
energi. Malam itu kami makan nasi goreng mentega dan sup jagung. Cukup lah
untuk menghalau dingin yang menerpa kami.
Usai makan dan menyiapkan perlengkapan untuk summit attack, kami berdoa sejenak,
memohon kepada Allah SWT supaya pendakian kami baik-baik saja. Bisa menggapai
puncak tertinggi Jawa tanpa kekurangan apapun. Aku juga menyampaikan kepada
teman-teman tentang pengalaman mistis yang kualami saat tidur. Kami cuma
berharap, itu adalah pertanda bahwa kami diminta tetap berhati-hati.
Sekitar pukul 23:15 WIB, kami berangkat.
Jumat, 22 Mei 2015
Satu jam pendakian dari Kalimati, kami tiba di Arcopodo
(2900 mdpl). Trek menuju Arcopodo merupakan pasir halus dengan kemiringan yang
cukup curam. Hujan abu vulkanik mulai bisa dirasakan selama perjalanan,
pertanda Semeru masih aktif.
Di perjalanan, beberapa kali kami menemukan plakat
bertuliskan nama pendaki yang meninggal dunia di Arcopodo, salah satunya
bernama Taufik. Aku tak tahu, apakah hal ini ada hubungannya atau tidak dengan
mimpiku sebelum berangkat.
Sekitar pukul 00:30 WIB, kami sampai di batas vegetasi.
Selanjutnya, hingga ke puncak Mahameru kami hanya akan melewati trek pasir
labil. Orang sering menyebutnya trek 3-2, setiap naik tiga langkah akan turun
lagi dua langkah. Kukira-kira lebar jalur sekitar lima meter.
Jarak pandang sekitar 20 meter saat itu. Angin dingin
berhembus kencang sekali, langsung menerpa tubuh. Ternyata mendaki trek berpasir
lebih susah dari dugaanku. Rasanya berat sekali kalau harus mendaki secara
vertikal, Aku selalu kehabisan napas. Akhirnya kucoba untuk mendaki secara diagonal,
mengambil jalur zigzag. Ini lebih baik, tak terlalu menguras tenaga.
Konsekuensinya, waktu yang kubutuhkan untuk sampai puncak lebih lama.
Sudah tak terhitung berapa kali kami istirahat selama
perjalanan. Sesekali kami bergantian meneguk susu panas yang dibawa Redi,
lumayan untuk menghangatkan badan. Kami terus mendaki. Aku mulai tertinggal
oleh yang lainnya.
Pukul 04:30 WIB, semburat jingga mulai mucul di ufuk timur.
Pemandangan menakjubkan mulai terlihat, samudera di atas awan. Aku benar-benar
berada di atas awan. Aku berhenti sejenak untuk mengabadikan momen istimewa itu
dengan kamera saku yang kubawa.
Sunrise di trek berpasir |
Kulihat jam tangan saat Zami memanggilku dari atas. Saat itu
pukul 06:00 WIB. Aku segera menghampirinya. Sesampainya aku di atas, dia
langsung merangkulku. “Sekarang lo jadi orang paling tinggi se-Jawa,” katanya.
Angin berhembus sangat kencang, dingin sekali. Aku segera menghampiri tiang
dengan plat bertuliskan “PUNCAK MAHAMERU 3676 MDPL”. Saat itu Aku tak bisa
berkata-kata, cuma isak tangis mengagumi kebesaran-Nya. Aku langsung tersungkur
sujud menyukuri setiap kesempatan yang diberi untuk menyadari bahwa manusia
adalah makhluk lemah. Aku juga menyukuri bahwa tekad sekuat baja bisa membawaku
ke atap Jawa.
Berfoto di puncak tertinggi Jawa |
Cuma dia
yang bisa
Saat Aku
menggapai puncaknya, Aku tak bisa berkata apa-apa
Bibir kelu
rasanya
Hanya ada
pipi yang basah karena air mata
Mahameru, tanah
tertinggi di Jawa
Aku sempat
bertanya-tanya
Saat
kujejaki pasirnya
Kapankah
akan berakhir?
Hanya saja
kupasrahkan kaki melangkah
Kalau sudah
saatnya, pasti akan sampai juga
Mahameru, puncak abadi
para dewa
Sempat Aku
hendak menyerah
Saat jiwa
dan raga ditekan sampai titik terendah
Aku sadar,
Engkau Maha
Besar, aku terlalu pongah
Mahameru, secuil surga
yang tercecer dari antah berantah
Mahameru
selalu tawarkan pelukannya
Kepada siapa
saja yang berani melangkahkan kakinya
Meyakini
bahwa mimpi itu dekat,
Di depan mata
Aku dan
Mahameru
Terimakasih
telah memelukku
Mengizinkanku
berdiri di atasmu
Jadi orang tertinggi
di tanah ini
Aku janji,
akan kubawa semangat ini ke kota
Kalau Aku
menghadapi ujian berat,
Mahameru
akan selalu kuingat
Bahwa Aku berani
melangkahkan kaki
Cukup
letakkan mata, hati, tangan dan kaki pada tempatnya
Gunakan
sebagaimana mestinya
Bersyukurlah
Aku sungguh
jatuh cinta padamu,
Hai Mahameru
Aku tak kuat berlama-lama berdiri di Mahameru. Udaranya
dingin sekali. Pukul 06:30 WIB kami putuskan untuk turun. Saat itu Aku merasa
terserang mountain sickness, penyakit
langganan pendaki dikarenakan perubahan ketinggian. Kepala rasanya pusing
sekali dan perut mual, tapi kupaksakan untuk melangkah.
Perjalanan turun sebenarnya sangat mengasyikkan. Pasir yang
labil sangat memudahkan langkah kami. Rasanya seperti bermain ski, terlebih Aku
menggunakan trekking pole. Tinggal
meletakkan tumit saja kami sudah turun beberapa langkah. Cuma harus hati-hati
jangan sampai menginjak batu karena bisa jatuh terguling.
Perjalanan turun dari Mahameru |
Tidurku lelap sekali siang itu. Jam setengah tiga sore Aku
dibangunkan oleh Taufik, Rico dan Redi. Mereka mau mengambil air. Aku bangun
dan mulai membereskan barang. Pukul 15:30 WIB Aku dan Zami memasak untuk
mengisi perut, sedangkan yang lainnya mulai packing
barang bawaan. Sudah makan duluan katanya.
Usai makan kami sholat dan mulai packing. Tepat pukul 17:15 WIB kami bergerak meninggalkan Kalimati.
Rencananya kami akan bermalam lagi di Ranukumbolo. Saat memasuki Cemoro
Kandang, kami bertemu satu rombongan yang memutuskan untuk menginap di sana.
Kami mendengar suara perempuan menangis dari dalam tenda, sementara
teman-temannya menenangkannya. Kami pikir mungkin dia kelelahan. Tak jauh kami
melangkah, tangisan berubah menjadi jeritan dan tawa seperti tayangan uji
nyali. Sepertinya dia kerasukan. Kami berhenti sejenak untuk menenangkan diri.
Tak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan. Saat di
Oro-Oro Ombo, karena suasana sudah gelap kami sempat salah pilih jalan. Seharusnya
lurus, kami malah melipir ke kanan. Zami segera mencari jalur yang benar, kami
pun mengikutinya.
Kurang lebih jam tujuh malam kami tiba di Ranu Kumbolo.
Suasananya ramai sekali malam itu. Maklum, memang lebih banyak pendaki yang
memilih melakukan pendakian pada akhir pekan. Kami segera mencari tempat
terbaik untuk mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, kami segara masuk tenda
masing-masing. Aku menyempatkan memasak spageti untuk mengisi perut. Usai
makan, kami langsung tidur.
Sabtu, 23 Mei 2015
Malam itu Ranu Kumbolo tak sedingin sebelumnya. Aku tidur
pulas. Pukul 05:00 WIB Aku bangun karena suara pendaki yang mulai beraktivitas.
Aku membuka tenda, tak ada lapisan-lapisan es seperti malam sebelumnya. Sejenak
kusujudkan kening ke hadirat Sang Penguasa jagat semesta.
Tak lama kemudian Aku mengajak Zami untuk mengelilingi Ranu
Kumbolo guna mencari spot terbaik untuk berfoto. Pagi itu suasana terasa begitu
tenang, begitu mendamaikan. Tak salah memang jika banyak orang menyebut danau
ini sebagai surganya Semeru.
Ranukumbolo nan syahdu |
Di tengah perjalanan, kami bertemu Mas Fanny, salah satu
pendaki asal Surabaya. Setelah tahu Aku dan Zami akan pulang menggunakan
pesawat dari Surabaya, dia pun mengajak kami pulang bareng. Kami pun sepakat. Jam tiga sore kami sampai
di Ranu Pani. Aku menyempatkan diri sebentar membeli souvenir di warung warga sekitar
basecamp.
Karena badan sudah sangat lengket, Aku segera mengambil baju
ganti dan menuju toilet umum. Tanpa tedeng aling-aling, Aku langsung mengguyur
badan. Brrrrrrr… tak kusangka airnya
sangat dingin. Sampai-sampai jantung rasanya mau copot saat air mengenai badan.
Usai mandi Aku sholat lalu kemudian berkumpul bersama
rombongan untuk menunggu angkutan yang akan membawa kami turun ke Tumpang. Soal
tawar menawar, kami percayakan pada Mas Fanny yang bisa bahasa Jawa. Pukul
setengah lima sore kami turun. Kali ini bukan naik Jeep, tapi truk. Per orang
dikenakan ongkos Rp. 65 ribu. Berdasarkan informasi, Jeep hanya melayani
penumpang sampai jam 4 sore.
Udara sangat dingin sore itu. Katanya, kalau cuaca sedang
ekstrem, suhu di Ranu Pani bisa turun sampai -25˚C. Pukul 18:30 WIB kami sampai
di Tumpang. Di situ Aku berpisah dengan Rico, Taufik dan Redi. Mereka akan
menginap semalam lagi di rumah temannya di Malang, sementara aku dan Zami
langsung ke Surabaya bersama Mas Fanny.
Aku langsung menuju masjid untuk sholat. Aku lupa bahwa Aku
sedang berada di Jawa Timur yang waktu sholatnya masuk lebih cepat dari
Jabodetabek. Akhirnya Aku ketinggalan waktu maghrib karena sempat istirahat
sebentar, kemudian Aku jamak di isya. Selesai sholat Aku membeli oleh-oleh khas
Malang di Pasar Tumpang, keripik apel.
Setelah Mas Fanny mendapatkan angkot, kami langsung menuju
terminal Arjosari. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Surabaya dengan Bus
Restu. Ongkosnya Rp. 15 ribu per orang. Karena badan sudah sangat lelah, Aku
tertidur selama perjalanan menuju Surabaya.
Sekitar pukul sepuluh malam, kami tiba di terminal Bungur
Asih. Rencananya kami akan langsung ke Bandara, tapi atas saran Mas Fanny lebih
baik kami bermalam di terminal karena khawatir di bandara tidak boleh dipakai
untuk istirahat. Aku sengaja tidak menyewa penginapan karena budget sudah
sangat tipis. Tak lama kemudian Mas Fanny izin pamit. Aku sangat berterimakasih
padanya yang rela membantu kami.
Aku dan Zami langsung mencari tempat yang nyaman di sudut
ruang tunggu penumpang. Usai meletakkan barang, Aku langsung mencari ATM dan
membeli makan malam. Kami sepakat untuk tidur secara bergantian untuk
memastikan bawaan tetap aman. Ternyata Surabaya lebih panas dari Jakarta.
Minggu, 24 Mei 2015
Pukul 04:00 WIB kami bangun dan langsung mencari masjid
untuk sholat subuh. Usai sholat kami merapikan bawaan dan ngopi sejenak. Sekitar jam setengah tujuh pagi kami berangkat ke Bandara
Juanda menggunakan bus DAMRI.
Pukul 07:00 WIB kami tiba di bandara. Karena boarding masih lama, kami santai sebentar
di area luar bandara. Aku dan Zami bersenda gurau sembari merencanakan puncak
mana lagi yang akan kami daki. Percaya padaku Kawan, sekali Kau mendaki Kau
akan kecanduan. Jatuh cinta pada ketinggian.
Jam sembilan pagi lebih sedikit kami masuk bandara, mengurus
bagasi kemudian boarding. Saat
pemeriksaan, metal detector terus
berbunyi ketika memeriksa tas Zami. Akhirnya kami terpaksa membongkar isi tas
di depan petugas. Ternyata pisau lipat terbawa di tas yang akan dimasukkan ke
kabin. Seharusnya pisau itu masuk ke dalam carrier
yang ada di bagasi. Sesuai prosedur, Aku mengurus penitipan pisau itu kepada pramugari
untuk kemudian diambil kembali sesampainya kami di tujuan.
Sekitar satu jam penerbangan, kami tiba di Soekarno-Hatta.
Setelah memastikan semua barang bawaan aman, Aku dan Zami berpisah. Dia naik
bus tujuan Pasar Minggu, sementara aku ke Cibinong.
Pukul 13:00 WIB, Aku tiba di rumah. Puncak sesungguhnya dari
sebuah pendakian. Memang benar, saat kita berada di kaki gunung, kita akan
merindukan puncak. Saat kita berada di puncak, kita akan merindukan berkumpul
kembali dengan keluarga.
Mendaki dan berdiri di puncak Mahameru adalah salah satu
impian terbesar di hidupku. Sejak aku mengenal dunia pendakian, Aku selalu
memimpikan untuk berdiri di atap Pulau Jawa.
Terimakasih, Tuhan. Kau masih memberiku waktu untuk mendaki
Sang Mahameru.
Sejak
pertama kutahu dirimu
Aku tergoda
Ingin sekali
rasanya berada di pelukmu
Seperti orang-orang
itu
Akhirnya
tiba saat kubisa
Menjejakkan
kakiku di sana
Bahagia dan
penasaran bercampur jadi satu
Semeru, terima Aku
dalam pelukmu
Aku begitu
menikmati malam pertama di danau impian, Ranu Kumbolo
Aku terlelap
di bawah gemintang yang sesekali menunjukkan aksinya
Dingin,
sepi, begitu syahdu
Begitu romantis
Di
belakangnya, ada Tanjakan Cinta
Begitu
fenomenal
Aku tegoda
Orang
bilang, siapa yang bisa melewatinya tanpa menoleh ke belakang, cintanya akan
tercapai
Ah, Aku tak
peduli
Ranu Kumbolo terlihat
begitu seksi dari sini
Sekali lagi,
Aku dibuat
terkejut oleh Semeru
Ada padang
sabana yang sangat memukau, Oro-Oro Ombo
Hijau
rerumputan dan ungunya bunga Verbena brasiliensis seakan menyatu
Cantik sekali
Akhirnya
kuberdiri di tanah tertinggi
Puncak abadi
para dewa
Mahameru tunjukkan
pesonanya
Semeru, padamu Aku
jatuh cinta
1 komentar:
How to make money - make money - Worktomakemoney
Making money online is easy. Learn how to หาเงินออนไลน์ make money gambling online, and learn 온카지노 how 메리트 카지노 쿠폰 to make money gambling today. Learn about what makes
Posting Komentar