Stone Garden
Kalau bicara soal taman batu, yang langsung terpikir adalah
Pulau Christmas di Australia atau The Giant’s Causeway di Irlandia Utara. Tapi
belakangan ada sebuah tujuan wisata Baru di Padalarang, Bandung yang sedang
ramai dibicarakan oleh para pelancong: Stone Garden.
Terletak di atas Gua Pawon, Kecamatan Cipatat, Padalarang,
Kab. Bandung Barat membuat Stone Garden mudah diakses dari Jakarta maupun Bandung.
Tempat wisata yang terletak di ketinggian 907 mdpl ini merupakan area yang
dipenuhi oleh batu karang dan rumput hijau. Keberadaan karang-karang tersebut
membuktikan bahwa Bandung merupakan dasar laut pada zaman purba.
Sebelum menuju Stone Garden, kami menyempatkan diri berkunjung ke Masjid Al-Irsyad Satya, Kota Baru Parahyangan. Masjid ini beberapa kali diliput oleh media massa karena keunikannya. Berbentuk kotak dan hanya berupa susunan hebel dengan interval jarak tertentu membuat semilir angin bebas keluar masuk. Selain itu, di depan mihrab sengaja tidak ditutup dinding sehingga langsung menghadap ke bukit di depannya. Kolam kecil juga menghiasi area di depan mihrab. Nyaman sekali.
Mihrab Masjid Al-Irsyad Satya |
Halaman Masjid Al-Irsyad Satya |
Usai sholat ashar berjamaah di tengah suasana sore yang menenangkan, kami melanjutkan perjalanan menuju Stone Garden. Tidak lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi tersebut dari Kota Baru Parahyangan, sekitar sepuluh menit saja.
Kami masuk ke jalan yang terdapat gapura bertuliskan “Guha Pawon”. Hanya lima menit dari jalan raya, kami tiba di loket masuk Gua Pawon dan Stone Garden. Tiket masuknya Rp. 5 ribu per orang. Dari situ kami harus melalui jalur mendaki kurang lebih 1,5 km. Cukup menguras tenaga.
Kami masuk ke jalan yang terdapat gapura bertuliskan “Guha Pawon”. Hanya lima menit dari jalan raya, kami tiba di loket masuk Gua Pawon dan Stone Garden. Tiket masuknya Rp. 5 ribu per orang. Dari situ kami harus melalui jalur mendaki kurang lebih 1,5 km. Cukup menguras tenaga.
Sesampainya di atas, kami sempat dibuat kecewa. Pasalnya ada
jalur lain yang memungkinkan mobil bisa naik sampai ke atas. Kami istirahat
sejenak dan membeli air mineral di warung yang ada di atas. Saat tenaga
terkumpul kembali, kami segera berjalan menuju area inti Stone Garden.
Sebelum masuk area inti, ternyata ada sebuah gubuk yang
menjadi tempat penarikan retribusi ilegal. Pengunjung dimintai bayaran lagi
Rp. 3 ribu per orang. Aku sempat menanyakan perihal retribusi tersebut. Penjaganya
menjawab bahwa tiket dari loket di bawah hanya untuk ke Gua Pawon. Karena malas
berdebat, kami akhirnya membayar juga. Ada yang lucu, di papan depan gubuk
terdapat tulisan “Distribusi Rp. 3.000”. Mungkin maksud mereka “retribusi”.
Papan petunjuk loket retribusi |
Kondisi Stone Garden sangat penuh sore itu. Susah sekali
mencari spot untuk berfoto yang memperlihatkan area situs secara keseluruhan.
Akhirnya kami naik hingga ke puncak untuk mendapatkan ruang . Reza tidak
melanjutkan perjalanan. Sudah tidak kuat katanya. Tia menemaninya.
Kiri ke kanan: Fajri (penulis), Adit, Iis, Sigit dan Afri |
Stone Garden memang memukau. Pikiranku jauh melayang ke masa
lampau, membayangkan bahwa gunung tempatku berdiri sebelumnya adalah dasar
laut. Tuhan memang Maha Pecah, tak ada sulitnya mengubah dasar laut menjadi
puncak gunung yang memesona dengan gugusan karangnya.
Sore di Stone Garden |
Matahari mulai beranjak ke Barat, hari sudah sore. Satu jam
menikmati Stone Garden, kami memutuskan turun. Ternyata Reza dan Tia sudah
lebih dulu. Sesampainya di loket resmi, kami menanyakan soal pungutan liar di
atas. Ibu Yeti, salah seorang pegawai Dinas Pendidikan Kab. Bandung Barat yang
sedang berada di lokasi menjelaskan, pihaknya sudah mengimbau masyarakat sekitar
untuk tidak membuka jalur ilegal. Hal tersebut dikhawatirkan akan merusak situs
megalitikum yang berasal dari jutaan tahun lalu itu. Tapi masyarakat sekitar
tetap saja membuka jalur lain menuju Stone Garden.
Kata Ibu Yeti, saat ini dia sedang bekerja sama dengan para
arkeolog dan pemerintah untuk melakukan mediasi dengan masyarakat agar
pengelolaan Stone Garden menjadi lebih baik. Bu Yeti juga meminta kami untuk
membantunya melalui tulisan di media massa.
Kami pamit kepada Ibu Yeti dan petugas yang berada di lokasi. Senja mulai turun menyelimuti Bandung. Kami menepi sejenak
di pom bensin untuk sholat magrib. Usai sholat kami mencari makan untuk
mengisi perut yang kosong. Kami berhenti di warung tenda pinggir jalan, menunya
nasi liwet dan ayam goreng. Nikmat sekali.
Saat itu jam menunjukkan pukul 20:15 WIB. Kenyang, kami
langsung tancap gas pulang. Awalnya mau lewat puncak. Khawatir macet, kami
pulang via Tol Cipularang. Pukul 23:00 WIB kami sampai di Cibinong. Liburan yang singkat dan padat, tapi begitu
mengesankan.
Percayalah, lelah ini hanya sebentar saja
terus melangkah dan tatap langit kita
Selesai di Jakarta, 2 Maret 2015
Hidayatul Fajri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar