Sekali Lagi, Gede Pangrango Tunjukkan Pesonanya

Di sana ada lembah kasih, lembah para bidadari. Ke sana aku akan pergi.

Bagi kalangan pendaki gunung yang berdomisili di kawasan Jabodetabek, Gunung Gede Pangrango sudah barang tentu tak asing lagi. Gunung yang terletak di tiga kabupaten (Kab. Bogor, Kab, Sukabumi, dan Kab. Cianjur) ini selalu jadi favorit pendaki singkat, alias tidak punya banyak waktu libur.

Kali ini aku mendapat kesempatan untuk menyambangi dan menikmati keindahan Gunung Gede (2958 mdpl). Jumat, 4 April 2014 sekitar pukul 23:00 WIB, aku bersama teman-temanku berangkat dari Cibinong menuju pintu masuk Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) melalui jalur Cibodas. Rombongan kami berjumlah 14 orang. Setelah mengurus Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi), kami mulai mendaki sekitar pukul 01:30 WIB, Sabtu, 5 April 2014.

Lap. Parkir Cibodas

Setelah berjalan sekitar 10 menit, kami mulai memasuki pintu gerbang TNGGP. Trek awal berupa jalur berbatu yang cukup rapih. Karena melakukan pendakian pada malam hari, napas terasa lebih berat karena kadar oksigen yang lebih sedikit.

Mendaki selama 30 menit, kami melewati Pos Telaga Biru. Disebut Telaga Biru karena airnnya berwarna kebiruan jika terkena sinar matahari. Kami mekanjutkan perjalanan menuju Pos Pancayangan.
Pos Pancayangan adalah jalur awal pendakian yang sesungguhnya. Ia adalah persimpangan antara jalur wisata ke Curug Cibeureum dan ke puncak Gunung Gede Pangrango.

Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Air Panas. Di sela-sela perjalanan, kami berhenti untuk subuhan, melepaskan diri ke hadirat Ilahi. Sesuai namanya, di Pos Air Panas terdapat air panas yang mengalir dari air terjun kecil. Aku berhenti sebentar untuk mencuci muka untuk menyegarkan tubuh.

Pos Air Panas
Tak membuang waktu lama, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Kandang Batu. Terdapat sedikit lahan landai di Kandang Batu, cukup untuk mendirikan beberapa tenda bagi pendaki yang ingin bermalam.

Di Kandang Batu, empat orang dari rombongan kami terpaksa tidak bisa melanjutkan petualangan karena ada seorang teman kami yang sakit dan butuh perawatan. Wehehe, agak berlebihan memang. Tapi sungguh, bagiku setiap hari adalah petualangan. Kali ini mungkin petualangan spesial.

Kandang Batu
Setelah kami memberikan beberapa stok logistik untuk teman-teman yang akan bermalam di Kandang Batu, kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya. Pos Kandang Badak. Bagi yang pertama kali medengar, pasti akan mengira bahwa di sini ada badaknya. Soalnya dulu aku pun begitu. Hehe.

Kandang Badak merupakan lahan landai yang cukup luas untuk mendirikan tenda bagi pendaki yang hendak melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede Pangrango. Trek dari Kandang Batu menuju Kandang Badak cukup terjal, sehingga kami harus berhenti berkali-kali untuk istirahat.

Kandang Badak
Karena kami tiba di Kandang Badak sekitar pukul sembilan pagi, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gede, tujuan utama kami. Beberepa menit berjalan mendaki dari Kandang Badak, terdapat persimpangan yang membagi trek menjadi dua jalur. Puncak Gede, silakan ambil jalur lurus. Puncak Pangrango, hadap kanan lalu jalan. Kami lurus, karena kami akan ke Puncak Gede.

Sekitar pukul 11:00 WIB, kami tiba di Tanjakan Setan. Iihhhhh, serem. Namanya memang bikin bulu kuduk merinding. Tapi tenang, ini tidak ada hubungannya dengan dunia mistis. Dikatakan demikian karena tanjakan ini memang benar-benar terjal. Kalau ku kira-kira mungkin sudut kemiringannya bisa 80 derajat. Untuk melewatinya, kami membutuhkan tali tambang yang sudah disediakan oleh pengelola TNGGP. Untungnya, Tanjakan Setan tidak terlalu tinggi, mungkin hanya sekitar 10 meter saja.

Tanjakan Setan
Usai melewati Tanjakan Setan, kami beristirahat cukup lama untuk mengembalikan energi yang terkuras. Aku tertidur pulas, lalu terbangun gara-gara ada lebah tak tahu diri menempel di pipiku. Untung dia tidak menciumku dengan sungutnya yang seksi itu.

Setelah itu kami terus mendaki dan mendaki. Akhirnya, sekitar pukul 12:30 WIB kami tiba di Puncak Gede. Indah, Kawan. Sungguh indah. Kepulan asap dari Kawah Gede menyatu dengan awan di langit yang cerah siang itu.

Puncak Gede
Dari Puncak Gede, jelas terlihat tiga kabupaten yang mengelilingi gunung setinggi 2985 mdpl itu. Di puncak kami beristirahat sejenak untuk kemudian turun lagi ke Alun-Alun Surya Kencana, lembahnya para bidadari, untuk mendirikan tenda dan bermalam di sana.

***

Sabtu, 5 April 2014 pukul 16:00 WIB. Sore itu, langit begitu cerah. Memantulkan cahayanya ke bukit-bukit yang mengelilingi Surya Kencana. Kami memasak kudapan sore usai mendirikan tenda. Nasi panas, ikan sarden, tempe goreng. Nikmat, Kawan.

Usai makan, kami melakukan kegiatan masing-masing. Aku memilih untuk berfoto-foto. Maklum, lelaki narsis. Hehe. Surya Kencana memang selalu menggoda untuk mengabadikannya. Setelah itu, aku sholat ashar di tengah lembah yang indah ini. Ditemani kicau burung dan kabut senja.

Surya Kencana
Dan, setelah itu hujan turun sangat lebat. Kami segera memasukkan barang-barang yang masih berada di luar ke dalam tenda. Aku langsung pakai sweater di lapis lagi dengan jaket, kaos kaki dan sarung tangan. Selanjutnya? Tiduuur.

Pukul 22:00 WIB, aku terbangun. Hujan masih deras, makin dingin. Lalu, tidur lagi. Malam itu Surya Kencana tak sedingin biasanya. Aku saja tidur tidak pakai sleeping bag. Benda itu malah ku jadikan bantal.

***

Minggu, 6 April 2014 pukul 02:30 WIB aku terbangun. Di luar sudah tidak hujan. Aroma rumput basah terasa sangat menyegarkan. Aku teringat bahwa aku belum sholat.

Segera aku ke sumber air untuk berwudhu. Setelah itu aku sholat di lembah Surya Kencana yang masih basah oleh air hujan, ditemani hamparan bintang yang sedang memamerkan pesonanya.

Aku di bumi, tapi begitu dekat dengan langit. Dekat dengan sang Pencipta.

Usai sholat, aku menyeduh kopi dan merebus mie instan untuk menghangatkan badan. Setelah itu aku berbaring di atas matras sembari menatap ke langit lepas. 

Gemintang menunjukkan atraksinya
Indah sekali
Ini surga
Tercecer ke bumi
Terimakasih atas Tanah Air ini
Aku cinta beserta ribuan gugusan pulaunya

Malam itu aku menyaksikan sesuatu yang belum pernah ku lihat sebelumnya: bintang jatuh. Kata orang, siapa yang melihat bintang jatuh lalu dia mengatakan keinginannya, maka permohonannya akan terkabul. Mungkin saja ada benarnya. Tapi bagiku, semua permohonan akan dikabulkan Tuhan. Cuma saja caranya yang berbeda-beda.

Manusia memang selalu tergesa-gesa
Ia hanya pandai merangkai kata
Tapi bodoh dalam rasa
Tuhan selalu mengabulkan pinta
Hanya saja kita tak memahaminya

Saat itu ada perasaan membuncah dalam dadaku. Negeri ini begitu indah. Tapi diuji dengan pemimpin bodoh. Malam itu terasa begitu megah, begitu indah.

Tak terasa jam tanganku menunjukkan pukul 04:45 WIB. Subuh datang. Tak membuang waktu, ku kumandangkan azan pertanda panggilan Tuhan pada semesta. Suaraku menggema, memantul dari bukit-bukit yang mengelilingi Surya Kencana. Sekali lagi, ku sujudkan kening ini di hadapan Sang Pencipta.

Usai sholat, aku bersiap untuk summit attack demi melihat sunrise. Tapi entah kesambet setan mana, semua teman-temanku malah masuk lagi ke dalam tenda. Mereka tak mau ke puncak pagi-pagi buta. Capek katanya.

Akhirnya aku memutuskan untuk ke puncak sendirian bermodalkan tas kecil yang berisi kamera dan headlamp yang menempel di keningku. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan rombongan dari Lenteng Agung, Jaksel. Wah anak Jakarta nih, pikirku. Tak panjang lebar, aku langsung klop dengan mereka. Bodohnya, asik ngobrol kesana kemari aku malah lupa menanyakan nama mereka.

Sekitar pukul 05:45 WIB, aku tiba di Puncak Gede. Matahari mulai menampakkan wajahnya. Pangrango mengintip malu-malu di antara kepulan asap Kawah Gede. Pagi itu puncak ramai sekali. Tapi aku tetap bisa mencari tempat nyaman untuk menikmati keindahannya.

Sunrise di Puncak Gede
Karena cuma sendirian, aku kesulitan untuk minta foto. Akhirnya, aku minta tolong berkali-kali pada pendaki lain untuk memotretku. Orang yang berbeda-beda tentunya. Hehe.

Ada cerita lucu. Di Puncak Gede setiap pagi memang ada warga desa menjual nasi uduk. Mereka biasa turun naik gunung untuk menjajakan dagangannya. Kadang lebih cepat dari pendaki. Makanya mereka dijuluki Timnasduk (tim nasi uduk). Hehe. Saat itu ada rombongan pendaki yang terdiri dari anak-anak SMA. Sepertinya salah satu SMA di Bogor. Mungkin karena sudah terlalu lapar, saat tukang nasi uduk datang mereka langsung menyerbunya. Tanpa banyak tanya ini itu, mereka langsung melahap nasi yang pasti sudah dingin itu.

Ada beberapa dari mereka bertanya, "Bang, ini berapaan harganya?"
Si abang menjawab, "Udah makan dulu aja, nanti baru bayar."

Usai makan, mereka kembali menanyakan harganya untuk membayar. Dengan entengnya, si abang menjawab, "Semuanya 260 ribu. Satu bungkus sepuluh ribu."

"Wott, kok mahal amat Bang?"
"Yang mahal bukan nasinya Neng, tapi naiknya." kata si abang sambil sesekali mengembuskan asap rokoknya.

Aku cuma nyengir-nyengir sendiri mendengarnya. Cuma nasi plus sambel dan kerupuk dikasih harga sepuluh ribu. Haha.

Sejenak aku duduk di sebongkah batu besar sambil memandang hamparan awan. Aku menulis tulisan ini sambil duduk di atas batu besar itu. Setelah puas menikmati hangatnya matahari pagi, pukul 07:30 WIB aku kembali turun ke Surya Kencana.

Aroma masakan langsung menusuk hidungku sesampainya di tenda. Nikmat sekali, sepulang menikmati pemandangan indah, aku langsung disuguhkan nasi liwet ikan teri lengkap dengan tempe goreng.

Menunggu kawan-kawan berkumpul, sekali lagi saya menyempatkan diri untuk berfoto-foto di Surya Kencana. Tak lama, kami semua menyantap menu sarapan pagi itu. Memang makanannya biasa saja, tapi kebersamaan lah yang membuatnya luar biasa. Nikmat sekali.

Makan bersama di Surya Kencana

Usai makan, kami merapikan semuanya. Karena kami akan turun jam sepuluh, maka kami segera melepas tenda untuk kemudian packing. Saat tinggal satu tenda tersisa, hujan turun deras. Alhasil, kami baru beranjak pukul 11:00 WIB.

Di puncak (karena untuk turun kita harus terlebih dahulu naik lagi ke puncak), lagi-lagi kami terjebak hujan. Kabut tebal sekali saat itu. Puncak Pangrango tak terlihat. Kami baru benar-benar turun gunung pukul 14:00 WIB.

Seperti biasanya, perjalanan turun selalu lebih cepat. Jauh lebih cepat. Saya tertinggal dari rombongan karena harus menemani salah seorang teman yang mengalami keram kaki.

Pukul 17:30 WIB, aku masih berada di jalur antara Pos Air Panas dan Pos Pancayangan. Segera ku siapkan headlamp khawatir gelap datang sebelum kami sampai.

Beberapa meter sebelum Pos Pancayangan, gerimis mulai turun. Senja itu banyak pendaki yang memilih berteduh terlebih dahulu di Pos Pancayangan. Aku memilih melanjutkan perjalanan agar sampai di bawah lebih cepat.

Pukul 18:00 WIB, sementara rombongan sudah sampai di Pos Satu untuk berteduh dan beristirahat, aku dan temanku yang keram tadi masih berada di Pos Telaga Biru. Hujan deras sekali saat itu. Pun ku lihat bangunan pos itu sudah dipenuhi pendaki yang berteduh. Lagi-lagi aku memilih untuk terus berjalan.
Carrier yang ku gendong sudah ku lapisi trash bag di dalamnya, jadi tak ada masalah pada isinya. Hanya saja tas yang basah terasa lebih berat dari sebelumnya.

Sudah kuyup tubuhku saat itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba aku terpeleset dan headlamp-ku jatuh. Gelap. Untungnya benda itu jatuh tak jauh dariku. Dan yang paling penting, masih bisa nyala.

Berjalan beberapa meter, lagi-lagi aku terpeleset karena menginjak batu licin. Kali ini headlamp-ku terpental entah kemana. Kucari-cari, tapi tak ada. Aku sempat panik. Dingin semakin menusuk. Gelap, tak terlihat apapun. Akupun terduduk di batu jalanan sambil menenangkan diri. Setelah meraba-raba jalur yang aku lewati, akhirnya ku temukan benda itu. Tapi, baterainya nggak ada. Aku meminta bantuan temanku untuk membantu mencari baterai yang terpelas. Setelah mencari beberapa saat, akhirnya ketemu juga. Ahhh, leganya.

Kami melanjutkan perjalanan. Tak jauh kami melangkah, kami bertemu rombongan lain yang juga hendak turun. Akhirnya kami meminta izin untuk gabung bersama mereka.

Pukul 18:50 WIB akhirnya kami tiba di Pos Satu. Sudah menunggu teman-teman yang lain di sana. Aku segera mengganti pakaian dengan yang kering lalu berselimut sarung untuk menghangatkan tubuh.

Pukul 20:00 WIB hujan mulai reda. Kami segera beranjak menuju lapangan parkir Cibodas. Di sana kami kami mengisi perut yang sudah keroncongan dan menghangatkan tubuh dengan minuman panas.

Dengan men-carter angkot, kami menuju Jalan Raya Cipanas. Awalnya kami hendak men-carter angkot lagi untuk meneruskan perjalanan ke Cibinong. Tapi karena harganya tidak cocok dan sempat terjadi ketegangan dengan para calo, akhirnya kami naik bus.

***

Pukul 01:00 WIB, Senin, 7 April 2014 aku tiba di rumah. Puncak sebenarnya. Aku bersyukur bisa kembali dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun.

Aku selalu berharap bisa mendaki puncak-puncak indah di negeri tercinta, Indonesia. Sebelum aku mati. 

Tuhan
Terimakasih atas semua yang Kau beri
Tanah Air ini
Kekayaan alamnya, ramah masyarakatnya, lezat makanannya
Bantu kami menjaganya

Selesai di Bogor
Minggu, 4 Mei 2014
Pukul 13:27 WIB







Tidak ada komentar: