Dalam rangka merayakan libur panjang akhir pekan yang sepertinya memang harus dirayakan, kali ini saya memilih untuk menyatu dengan salah satu surga yang tercecer di selatan Jawa, Pangandaran.
Jumat, 18 April 2014
Jumat, 18 April 2014
Pukul 17:45 WIB saya tiba di terminal Depok. Sudah menunggu di sana Mas Dedi, teman kantor saya. Kami memang janjian untuk liburan bersama dan bertemu di sana sore itu. Menuju Pangandaran, kami naik bus Budiman jurusan Depok-Pangandaran. Kelas bisnis AC tentunya. Nggak apa-apa agak mahal sedikit, yang penting perjalanan nyaman. Soalnya lumayan jauh. Hehe.
Pukul 18:55 WIB bus mulai bergerak meninggalkan terminal. Dari Margonda, mengarah ke Jalan Raya Bogor lewat Jalan Juanda. Bus masuk tol Citeureup setelah sebelumnya ngetem cukup lama di Cibinong. Ternyata salah satu agen bus Budiman ya di Cibinong. Haduh, tau begitu sih mending saya naik dari Cibinong aja. Rumah saya kan di Cibinong. Tapi rapopo, karena naik dari terminal saya bisa duduk manis di kursi kedua di belakang sopir.
Tarif Depok-Pangandaran Rp. 80 ribu. Menurut analisis saya, bus ini cukup nyaman. Kursinya dua dua. Bukan berjumlah 22 kursi ya, tapi satu deret cuma ada dua kursi. Kan kalo bus Patas ada yang satu deret tiga kursi tuh.
Ada yang menarik perhatian saya di dalam bus. Di salah satu kacanya, ada stiker bertuliskan "MUSLIM YANG TAAT TIDAK MENINGGALKAN SHOLAT. Personil diwajibkan memberikan waktu dan kesempatan kepada penumpang untuk melaksanakan sholat di masjid terdekat. Laporkan apabila personil kami tidak memberikan kesempatan untuk menunaikan ibadah." Di bawahnya tertera nomor yang bisa dihubungi.
Wow, jujur saya baru pernah melihat yang seperti ini. Agak takjub juga sih. Jarang banget pengelola jasa transportasi memperhatikan soal ibadah penumpangnya. Saluuut buat Pak Budiman. Eh maksudnya bus Budiman.
Sekitar pukul 23:30 WIB, kami istirahat di sebuah rumah makan di Ciamis. Saya belum sholat, maka mushola jadi tempat yang paling saya buru. Sekitar 15 menit kemudian, kami melanjutkan perjalanan. Dan seketika itu juga terlintas ide brilian dari otak saya: tidur.
Sabtu 19 April 2014
Setelah menjalani pengembaraan kurang lebih 12 jam, akhirnya kami tiba di terminal Pangandaran, sekitar pukul 06:00 WIB. Setelah turun bus, saya langsung ke mushola untuk sholat subuh..Usai sholat, saya mengguyur badan di toilet umum untuk menyegarkan. Indah nian hidupku hari itu. Setelah selesai mandi, ternyata sudah menunggu sopir angkot yang akan membawa saya ke Grand Canyon, eh salah Green Canyon maksudnya. Sebenarnya tujuan utama saya ya ke tempat ini. Kalo Pantai Pangandaran sih tambahan aja. Hehe. Green Canyon terletak di Kecamatan Cijulang, Pangandaran.
Layaknya Amerika, negeri kita juga punya tempat yang katanya sih mirip Grand Canyon, namanya Green Canyon. Penamaan Green Canyon pertama kali keluar dari mulut seorang bule asal Perancis pada tahun 1993.
Bule itu memberi nama Green Canyon karena tempat tersebut sangat hijau, sangat asri. Oh iya lupa, Green Canyon sendiri adalah susunan stalagtit dan stalagmit yang tersusun dengan indahnya di tepi Sungai Cijulang. Orang sekitar sih menyebutnya Cukang Taneuh. Apa artinya? Silakan buka kamus Basa Sunda.
Setelah bernegosiasi, akhirnya si abang sopir angkot rela mengantarkan saya sampai depan gerbang Green Canyon dengan harga Rp 20 ribu. Padahal jaraknya jauh, jalannya rusak, dan itu jelas-jelas bukan trayeknya. Okesip.
Dalam hati saya sangat ingin mencoba body rafting. Tapi karena saya tahu harga per paketnya cukup mahal (apalagi cuma berdua), maka saya ragu. Tapi seperti mengerti pikiran saya, si abang sopir bilang, "Mas, kalo mau body rafting nanti saya cari barengannya. Tadi ada kok yang nyari barengan juga. Kalo bareng-bareng jadinya murah."
Setelah itu si abang menjelaskan bahwa harga per paketnya Rp 1 juta untuk lima orang. Jadi kalo pas lima orang, per orangnya cuma bayar Rp 200 ribu. Seketika mata saya berbinar.
Sekitar satu jam kemudian, saya tiba di lokasi body rafting. Saya langsung menemui pengelola Xali-Xali Body Rafting, namanya Kang Asep. Akhirnya beliau berbaik hati mengikutsertakan saya ke dalam tim yang sebenarnya sudah full. Mereka sudah berjumlah sepuluh orang. Jadi total kami 12 orang.
Sekretariat Xali-Xali Body Rafting |
Setelah bersiap-siap, kami naik ke mobil pick-up yang akan mengantarkan kami ke lokasi body rafting. Saya duduk di depan, menemani Kang Dadang, sang pilot pick-up. Sekitar 30 menit melewati jalan berbatu, kami sampai di tepi Sungai Cijulang tempat petualangan dimulai. Di tim kami ada dua pemandu yang bersedia memandu kami (memang tugasnya) dan memotret keseruan kami selama di arena. Mereka Kang Ari dan Kang Ridwan (Kewong).
Setelah mengecek semua pengaman (pelampung, deker, helm, sepatu air), saya langsung menceburkan badan ke dalam air yang bening itu. Sejuuuk banget.
Awalnya aliran air tenang, lama kelamaan mulai curam. Dalam kondisi seperti itu, tinggal gimana keberanian dan persiapan kita demi keselamatan.
Ada satu titik para peserta dihadapkan pada dua pilihan, terjun dari tebing setinggi kurang lebih tujuh meter atau mengikuti aliran air yang cukup deras. Saya memilih opsi pertama. Awalnya cukup ngeri, tapi saya sengaja menantang diri saya untuk membunuh rasa takut yang muncul.
Body Rafting di Green Canyon |
Ketika rasa takut menghampirimu
Cuma ada dua pilihan: Menurutinya atau membunuhnya
Jika kau turuti
Jadilah kau pecundang dalam duniamu sendiri
Cuma ada dua pilihan: Menurutinya atau membunuhnya
Jika kau turuti
Jadilah kau pecundang dalam duniamu sendiri
Tanpa berpikir panjang, saya langsung melompat dari atas tebing. Dan, byurrr. Seketika saya tenggelam lalu kemudian muncul lagi dengan perasaan bangga. Musuh terjahat dalam diri telah berhasil saya lumpuhkan dalam sekali waktu.
Kami terus menyusuri Sungai Cijulang sambil berfoto ria. Seperti biasa, saya dengan cepat bisa berbaur dengan tim. Mereka ternyata rombongan anak muda dari Bintaro.
Sampai tibalah kami di sebuah titik yang terdapat susunan batu-batu besar. Dari atas batu-batu tersebut, turun hujan abadi. Hujan yang tak kenal musim. Selalu begitu. Sebenarnya itu bukan hujan, tapi tetesan air dari stalagtit di atas batu-batu besar tersebut.
Saat sedang asyik-asyiknya menikmati kucuran air di atas kepala. Aku melihat sebuah pemandangan menakjubkan. Pelangi abadi. Hujan abadi itu menghasilkan pelangi abadi dengan gradasi warna yang begitu indah. Kecil, mungkin hanya setengah meter. Tapi begitu memukau.
Tak lama, akhirnya kami tiba di Green Canyon yang sebenarnya. Di atasnya terdapat tanah yang menghubungkan satu sisi tebing dengan sisi lainnya. Ini yang disebut Cukang Teneuh. Tanah yang menghubungkan dua tebing yang biasa dilalui warga untuk bertani. Di bawahnya mengalir Sungai Cijulang yang saya susuri ini.
Di Green Canyon terdapat sebuah batu besar yang biasa dipakai oleh pengunjung untuk melompat ke sungai. Tingginya mungkin sekitar lima meter. Batu yang ini banyak saya lihat di video tentang Green Canyon via youtube.
Lagi-lagi saya tertantang untuk melompat. Sudah jauh-jauh datang, sayang kalo tidak berani melompat. Saya berlari di atas tebing lalu melompat ke tengah sungai. Byurrr, saya tenggelam lalu muncul di tempat yang cukup jauh dari tempat saya melompat karena terbawa arus.
Yes, I did it. Twice. Tak jauh dari situ, kami dijemput oleh perahu yang membawa kami ke kantor pengelola body rafting tadi. Di atas perahu, saya tak mau kehilangan momen untuk berfoto. Sempat mogok dan ganti perahu, akhirnya kami tiba sekitar pukul 14:00 WIB.
Perahu penjemput dari Green Canyon |
Pas sampai, saya langsung mandi dan sholat. Setelah itu, kami sudah disajikan nasi panas, ayam goreng, cah kangkung, dan sambel khas daerah pesisir. Hajarrr.
Usai makan, saya pamit kepada teman-teman dan pemandu yang sudah menemani ber-body rafting ria seharian. Saya langsung mencari bus untuk menuju Pantai Pangandaran.
Masuk Pantai Pangandaran, pejalan kaki cuma dikenakan biaya Rp. 3300. Ini dia poin seru backpacking kali ini. Saya sengaja tidak menyewa penginapan. Saya ajak Mas Dedi untuk berkemah di pinggir pantai. Alasannya sih biar seru, padahal biar irit budget. Hehe.
Saya kira Mas Dedi bakalan nolak, ternyata dia malah antusias banget. Dan jadilah malam itu kami mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam di tepi pantai. Sengaja saya bawa tenda dan kompor gas mini lengkap dengan nestingnya.
Usai makan dan sholat, saya langsung masuk ke tenda. Lelah sekali rasanya. Tapi ya namanya pantai, pasti udaranya panas. Tenda terasa pengap, alhasil saya nggak bisa tidur. Ditambah lagi suara musik dari diskotik kecil-kecilan khas pantai, membuat saya tambah susah tidur. Tapi karena memang lelah sekali, akhirnya saya pun tertidur setelah sebelumnya saya buka pintu tenda agar angin bisa masuk.
Minggu, 20 April 2014
Pagi itu adalah ulang tahun saya yang ke 24. Saya dilahirkan tepat saat fajar menyingsing. Makanya saya diberi nama Hidayatul Fajri oleh kakek saya. Artinya petunjuk di waktu fajar. Keren kan? Hehe. Memasuki hari pertama di umur yang baru, saya ditemani deburan ombak dan hamparan bintang di pantai selatan Jawa.
Gemintang menunjukkan atraksinya
Indah sekali
Ini surga Tercecer ke bumi
Terimakasih atas Tanah Air ini
Aku cinta beserta gugusan ribuan pulaunya
Indah sekali
Ini surga Tercecer ke bumi
Terimakasih atas Tanah Air ini
Aku cinta beserta gugusan ribuan pulaunya
Pukul 04:00 WIB, saya bangun. Setelah itu saya sholat subuh lalu kemudian memasak untuk sarapan. Usai sholat, kami mulai membereskan barang-barang.
Setelah beres, saya langsung menceburkan diri ke laut. Masa udah ke pantai nggak nyebur, pikirku. Sayang ah. Pukul 06:30 WIB kami bilas badan di toilet umum karena kami akan mengejar bus tujuan Depok yang berangkat jam tujuh.
Pantai Pangandaran |
Saat kami tiba di terminal, ternyata bus Budiman tujuan Depok sudah berangkat. Akhirnya kami menunggu bus tujuan Kp. Rambutan yang berangkat jam delapan.
Tepat jam delapan, kami naik bus Gapuraning Rahayu tujuan Kp. Rambutan. Soal kenyamanan, cuma kalah sedikit dibandingkan Budiman. Tapi tarifnya lebih mahal, Rp 85 ribu.
Di dalam bus saya langsung mengatur posisi duduk senyaman mungkin untuk melepas lelah. Sambil mendengarkan musik, perjalanan pulang jadi lebih menyenangkan.
Sopir bus ini sangat berani. Ia memacu bus dengan kecepatan yang cukup tinggi. Pukul 13:30 WIB kami istirahat di sebuah warung makan di Nagrek. Saya segera menuju mushola untuk sholat. Usai sholat, saya langsung makan siang.
Hujan mengguyur deras Kota Bandung sore itu. Akhirnya sekitar pukul 18:30 WIB saya tiba di Kp. Rambutan. Setelah menyambung dengan bus Jurusan Citeureup, saya tiba di rumah pukul 21:30 WIB. Perjalanan singkat yang sangat mengesankan. Tanpa persiapan tapi sangat menyenangkan. Semoga lain kali bisa menikmati keindahan ciptaan Tuhan, di belahan lain tanah air ini.
Take vacations, go as many places as you can.
You can always make money, but you can't always make memories.
You can always make money, but you can't always make memories.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar