Ceremai, Si Mistis Nan Eksotis

Kunamai pendakian ini dengan “perjalanan hati”.

Cerita ini diawali ajakan seorang teman untuk mendaki lagi. Iya, kukatakan mendaki lagi sebab baru awal April lalu kami nanjak ke Gunung Gede. Tujuan awalnya Merbabu dan Merapi, tapi karena kami kehabisan tiket kereta dan tiket bus terlampau mahal akhirnya kami memutuskan untuk ke Gunung Ceremai (3078 mdpl), tertinggi di Jawa Barat.

Gunung Ceremai adalah gunung berapi aktif berasifat strato. Gunung ini terletak di antara Kabupaten Kuningan dan Cirebon. Di tengah kontroversi terkait penjualan gunung ini kepada perusahaan migas milik Amerika, Chevron Corporation, Ceremai tetap eksotis. Ditambah mitos-mitos yang menyelimutinya, membuat Ceremai sangat menantang untuk didaki. Ada tiga jalur menuju puncak Ceremai. Jalur Linggarjati dan Palutungan di Kuningan, serta jalur Apuy di Majalengka.

Jumat, 23 Mei 2014

Pukul 21:00 WIB

“Mau nanjak, Mas?”
“Iya nih, Pak. Kita ke Kampung Rambutan ya!” pintaku pada sopir sembari menutup pintu mobil.

Malam itu kami janjian berkumpul di Terminal Kp. Rambutan. Kami akan memulai pendakian melalui jalur Linggarjati (600 mdpl). Jalur ini merupakan jalur tercepat menuju puncak Ceremai sekaligus paling terjal. Kemiringannya bisa mencapai 70 derajat sepanjang perjalanan. Jangan kau bayangkan, Kawan! Sepulang kantor, aku langsung ke terminal diantar mobil kantor.

Sekitar pukul 23:30 WIB kami berkumpul. Setelah tawar-menawar dengan kernet bus, kami naik bus Luragung Jaya. Ongkosnya Rp. 55 ribu. Bus mulai berangkat pukul 00:30 WIB

Sabtu, 24 Mei 2014

Karena saat itu libur panjang, kemacetan terjadi di mana-mana. Karena kami naik bus kelas ekonomi, kenyamanannya sama sekali tidak terjamin. Walaupun bus sudah penuh, sopir tetap menaikkan penumpang. Para pedagang juga bebas berkeliaran.

Perkiraan awal kami tiba di pertigaan Linggarjati pukul tujuh pagi. Sialnya, kami baru tiba pukul 11:30 WIB. Kami kemudian menyewa angkot menuju Pos Linggarjati.
Sesampainya di sana, kami langsung mengurus perizinan pendakian. Setelah mengisi perut dan sholat, kami memulai pendakian pukul 12:30 WIB. Terlalu siang.

Oh ya, Kawan. Lupa ku informasikan. Tim kami berjumlah lima orang. Aku, Ahmad, Rizky, Riyan, dan Yuni. Jangan salah, walaupun yang terakhir kusebut itu bernama Yuni, tapi dia lelaki tulen
tukang angkut carrier paling tangguh.

Teman-temanku yang kusebutkan di atas memanggilku Leboy, ikut-ikutan Ahmad. Katanya sewaktu SMA aku tukang ngibulin cewek. Padahal aku tipe cowok yang setia loh. SUMPAH! Kalau nggak percaya, tanya saja mantan-mantanku. Hehe…

Kembali ke cerita. Di awal pendakian kami melewati jalan beraspal yang makin lama makin menanjak. Energiku cukup terkuras karena aku tidak melatih fisik sebelum mendaki. Jangan dicontoh, Kawan! Sekitar 30 menit berjalan, kami tiba di desa Cibunar (750 mdpl). Desa terakhir sebelum pendakian sesungguhnya dimulai. Rata-rata, untuk mencapai puncak Ceremai dibutuhkan waktu 12-16 jam.

Di Cibunar kami menyiapkan persediaan air. Semua botol dan jeriken kami penuhi di sini. Pasalnya, selama perjalanan hingga puncak tidak akan ditemui sumber air lagi. Makanya, soal persediaan air perhitungannya harus matang. Kalau tidak, nyawa jadi taruhannya.

Dari Cibunar kami melanjutkan pendakian menuju Leuweung Datar (1285 mdpl). Di pos ini terdapat lahan datar yang bisa digunakan pendaki untuk mendirikan tenda. Tidak banyak yang bisa dilihat sepanjang perjalanan selain pepohonan berukuran besar.

Dari Leuweung Datar kami menuju Condang Amis (1350 mdpl) dan Kuburan Kuda (1580 mdpl). Agak merinding mendengar nama pos yang kusebut belakangan. Menurut informasi, dahulu Pos Kuburan Kuda adalah tempat tentara Jepang menguburkan kuda-kuda yang mati karena tidak sanggup membawa barang bawaan ke puncak Ceremai. Kata masyarakat sekitar, pada saat-saat tertentu sering terdengar suara ringkikan kuda di sini.

Selanjutnya kami menuju Tanjakan Binbin (1920 mdpl) dan Tanjakan Seruni (2080 mdpl). Kedua tanjakan ini sangat terjal. Kami tiba di Tanjakan Seruni pukul setengah enam sore. Target awal kami adalah pos Bapa Tere (2200 mdpl). Rencananya kami akan mendirikan tenda di sana. Tapi karena kondisi fisik kami sudah sangat lelah dan hari sudah gelap, kami memtutuskan untuk nge-camp di sebuah lahan datar antara Tanjakan Seruni dan Bapa Tere.

Usai sholat, kami memasak untuk makan malam. Menu malam itu nasi panas, ikan sarden, tempe goreng dan ikan asin. Sedaaap! Setelah perut kenyang, kami masuk tenda untuk merebahkan diri di pangkuan Ceremai yang memukau.

Minggu, 25 Mei 2014

Malam itu tidurku kurang nyenyak. Celana kargo, kaos kaki tebal, jaket gunung, kupluk dan sleeping bag tidak mampu menahan hawa dingin yang menusuk tulang. Hidungku juga tak bisa bernafas lega, tiba-tiba tersumbat, flu. Tapi karena esoknya kami akan melanjutkan pendakian, kupaksakan untuk tidur lagi.

Pukul enam pagi aku dibangunkan oleh suara kicauan burung yang sangat merdu. Aku langsung sholat dan membangunkan teman-temanku. Pagi itu kami sarapan ditemani burung-burung riang yang menyambut sang mentari. Untuk menghemat logistik, kami sarapan hanya dengan roti dan kopi hangat.

Pukul 07:30 WIB

Kami mulai melanjutkan pendakian lagi. Belum jauh berjalan, kami tiba di Pos Bapa Tere. Di sini lahan datarnya lebih luas. Mungkin cukup untuk mendirikan enam tenda. Kami bertemu pendaki lain yang sedang sarapan di sana. Kami disediakan kopi. Mantap!

Mari kuberitahu, Kawan
Di gunung, orang asing tiba-tiba bisa dekat seperti saudara
Di gunung, uangmu sama sekali tak berarti
Hanya kebersamaan yang bisa menghangatkan hati

Kami melanjutkan perjalanan menuju Batu Lingga (2400 mdpl). Jalur dari Bapa Tere menuju Batu Lingga sangat kejam, Kawan. Tanjakannya luar biasa terjal. Kukira-kira sudut kemiringannya 80-90 derajat. Tak jarang kami harus merambat di akar-akar pohon untuk melewatinya. Demi keamanan, kami memastikan terlebih dahulu akar yang dijadikan pegangan masih kuat.

“Ini belum seberapa dibanding rintangan dalam hidup yang harus lo hadapi. Kalo yakin dan sabar, lo pasti bisa ngelewatin ini semua,” tiba-tiba ada bisikan dari dalam dada yang memberiku semangat luar biasa. Menurut masyarakat setempat, Batu Lingga adalah tempat Sunan Gunung Jati memohon petunjuk Sang Kuasa. Selain itu, masyarakat juga meyakini bahwa Batu Lingga dijaga oleh dua makhluk halus bernama Aki dan Nini Serentet Buntet. Di sini terdapat batu besar di tengah jalur dan sebuah monumen peringatan untuk dua orang pendaki yang meninggal pada pendakian Ceremai tahun 1999. Masyarakat sekitar percaya bahwa ketinggian kawah Ceremai sejajar dengan Batu Lingga.

Dari Batu Lingga kami melanjutkan pendakian menuju Sangga Buana (2545 mdpl) dan Sangga Buana II (2665 mdpl). Kalau cuaca cerah, dari Sangga Buana II kita bisa melihat pemandangan Kota Cirebon.
Kami terus mendaki. Selanjutnya kami menuju Pengasinan (2860 mdpl). Ini adalah pos terakhir sebelum puncak. Di Pengasinan terdapat bunga edelweis (anaphalis javanica) yang baru mulai bermekaran. Jumlahnya memang tak sebanyak dan serimbun edelweis di Surya Kencana Gunung Gede dan Tegal Alun Gunung Papandayan, tapi cukup ampuh mengobati lelah sepanjang perjalanan. Sungguh sangat disayangkan, di pos ini ada beberapa tumpukan sampah ulah para pendaki yang tidak bertanggung jawab. Jangan ditiru, Kawan!

Kami mendirikan tenda dan memasak makan siang di Pengasinan. Seperti biasa, menunya nasi panas, ikan sarden, tempe goreng dan kacang pilus. Suasana di Pengasinan siang hari cukup panas karena tempatnya terbuka. Tapi karena itu juga kami bisa bebas melihat pemandangan awan bergulung. Kami berada di atas awan. Kaki kami lebih tinggi dari gugusan awan.

Kami di bumi, tapi begitu dekat dengan langit
Begitu dekat dengan Sang Pencipta

Siang itu kami melakukan kegiatan masing-masing. Aku memilih untuk menggeluti hobiku: menulis. Rencananya kami akan summit attack esok dinihari untuk menikmati sunrise.

Sekitar pukul 15:30 WIB, ada serombongan pendaki yang baru turun dari puncak. Mereka baru saja meletakkan tiang triangulasi di puncak Ceremai. Menurut mereka, saat sore hari pemandangan sunset dari puncak sangat indah. Atas saran mereka, sore itu kami memutuskan untuk summit attack. Dan untuk sunsire esok paginya, kami hanya akan menikmati dari Pengasinan. Jadi kami berharap mendapatkan dua-duanya. Itu juga karena kami khawatir esok paginya akan turun hujan.

Usah sholat, aku mulai mendaki mengikuti teman-teman lain. Jalur dari Pengasinan menuju puncak adalah jalan setapak berbatu. Harus sangat berhati-hati. Adakalanya batu yang kita injak terlepas dari tanah dan meluncur ke bawah. Beberapa meter sebelum sampai puncak, aku berhenti sejenak. Kuikat Sang Dwiwarna yang sengaja kubawa pada sebuah tongkat. Lalu aku berlari penuh semangat sembari membawa Merah Putih yang berkibar kencang. Tepat pukul lima sore, aku menginjakkan kaki di tanah tertinggi Jawa Barat. Campur aduk perasaanku saat itu. Bangga, senang, haru bercampur jadi satu. Kusujudkan kening tanda syukur pada Sang Pencipta atas negeri yang indah ini. Tak lupa kami abadikan momen langka itu dengan berfoto narsis.
Puncak Ceremai berupa kawah aktif. Aroma belerang sangat terasa menusuk hidung. Dari puncak, terlihat jelas pemandangan kota Cirebon dan Kuningan. Awan-awan bergulungan memuji Penciptanya. Sangat indah, Kawan! Harus ekstra hati-hati ketika berada di bibir kawah. Pasalnya, jalan yang bisa dilewati hanya setapak dan tidak ada pengaman. Jika hendak berkeliling kawah, pastikan pandangan tetap fokus pada jalur yang dilewati.

Puas menikmati sunset dan berfoto, pukul 17:30 WIB, kami turun kembali ke tenda. Cukup sulit menuruni jalur berbatu saat hari mulai gelap. Karena medannya sangat terbuka, kami bisa mendengar azan maghrib yang dikumandangkan di kaki gunung. Terdengar agak janggal memang, tapi begitulah adanya.

Sekitar pukul 18:15 WIB, kami tiba kembali di Pengasinan. Sudah ada beberapa tenda lagi saat kami sampai. Milik pendaki yang baru datang. Sembari aku sholat, teman-teman lain langsung memasak untuk makan malam. Tapi saat itu kami agak menghemat air karena persediaan yang semakin menipis.
Tak beberapa lama, kami masuk ke tenda karena udara sangat dingin.

Seperti malam sebelumnya, aku tak bisa tidur nyenyak. Udara dingin sukses menembus pertahanan berlapisku. Jaket, sarung tangan, kupluk, celana training, kaos kaki dan sleeping bag tak mampu melindungi tubuhku dari sengatan udara dingin.

Senin, 26 Mei 2014

“Aku percaya, hujan turun membawa cinta Sang Maha Cinta”

Aku berkali-kali terbangun malam itu. Baru sekitar pukul tiga pagi aku bisa tidur pulas. Belum lama aku terlelap, kudengar suara hujan yang sangat deras di luar. Tiba-tiba aku dibangunkan oleh temanku karena ada dua orang pendaki yang menumpang berteduh di tenda kami. Ternyata mereka pendaki yang summit attack pagi ini dan terjebak hujan. Aku bersyukur karena sudah muncak kemarin sore. Saat itu kulihat jam menunjukkan pukul 04:30 WIB.

Mereka adalah pendaki asal Bekasi dan summit attack tanpa membawa carrier. Mereka mendirikan tenda di Batu Lingga. Pukul setengah enam, hujan mulai reda. Kami keluar tenda dan mulai memasak untuk sarapan. Pagi itu, sejenak kusujudkan kening tanda syukur pada Sang Pencipta di punggung Ceremai yang diselimuti kabut.

Pagi itu aku hanya makan roti. Rasanya kurang bernafsu makan nasi. Usai makan, kami mulai packing untuk turun. Sekitar pukul 08:00 WIB, kami mulai turun. Kabut sangat tebal. Jarak pandang mungkin hanya sekita tiga meter. Agak ngeri menuruni jalur curam dengan keadaan kabut tebal.

Perjalanan turun terasa lebih cepat. Kaki harus mengimbangi tubuh yang mulai lelah. Sepanjang perjalanan, kami bertemu begitu banyak pendaki. Hari itu sedang ada pendakian massal operasi bersih Ceremai.
Di tengah perjalanan, aku kehabisan air minum. Aku sudah sangat haus dan kaki rasanya sudah tak kuat melangkah. Akhirnya, beberapa kali aku meminta air pada pendaki lain.

“Silakan diminum, Mas. Ini apelnya buat nambah energi,” kata seorang panitia pendakian massal sembari memberiku sebotol air minum dan sepotong apel.
“Terimakasih, Mas. Cibunar masih jauh nggak ya?” tanyaku setengah frustasi.
“Ah sebentar lagi kok, Mas. Paling 15 menit lagi,” ia coba menghiburku.

Sekali lagi alam mengajarkanku untuk saling menolong. Manusia tak ada artinya tanpa bantuan orang lain. Orang paling sombong di kota pun, jika mendaki gunung pasti harus membunuh kesombongannya, kalau mau tetap bertahan.

Sekitar pukul 13:45 WIB, akhirnya aku tiba di Pos Cibunar. Di sana, teman-temanku yang lain sudah menunggu. Aku langsung merebahkan badan untuk melepas lelah. Kemudian, kami memasak untuk makan siang. Menu siang itu spaghetti dengan saus La Fonte. Baru pernah aku makan spaghetti di gunung. Mantap, Kawan! Pastinya sih karena aku kelaparan. Hehe…

Usai makan, kami segera mengemas bawaan untuk kemudian turun ke Pos Linggarjati. Di sana, kami mandi membersihkan badan. Byurrr, segar sekali rasanya. Maklum, hampir empat hari kami tidak mandi.
Usai mandi dan sholat ashar, aku membeli cinderamata sebagai kenang-kenangan. Aku membeli emblem Taman Nasional Gunung Ceremai (TNGC), stiker TNGC dan lonceng sebagai penanda saat berkegiatan di alam bebas.

Tak lama kemudian, hujan turun deras. Kami segera naik angkot menuju pertigaan Linggarjati. Kami menunggu bus cukup lama. Akhirnya sekitar pukul 17:30 WIB bus Luragung Jaya tujuan Kp. Rambutan tiba. Tanpa membuang waktu kami langsung naik. Rp. 45 ribu saja.

Seperti biasa, naik Luragung tak ada bedanya dengan naik roller coaster. Tapi setelah penumpang penuh, sopir mulai kalem. Niat awal aku mau tidur, tapi nyatanya tidak bisa. Panas, berisik, desak-desakan.
Pukul 23:30 WIB, kami tiba di Kp. Rambutan. Kami langsung mencari angkot jurusan Cibinong. Sesampainya di Cibinong, aku diantar Ahmad naik motor sampai ke rumah.

Selasa, 27 Mei 2014

Sekitar pukul satu malam akhirnya aku tiba di rumah, puncak sesungguhnya. Segala puji bagi Tuhan yang menciptakan semesta dengan indahnya.

“Terimakasih Tuhan, aku bisa menikmati ciptaan-Mu dan kembali berkumpul dengan keluarga tanpa kekurangan suatu apapun,” bisikku dalam syukur.

Ceremai berhasil kudaki. Selama pendakian, tak satupun kualami hal-hal aneh. Mitos tetaplah mitos. Negeri ini memang kaya akan cerita rakyat dengan berbagai kepercayaan yang mengelilinginya. Cukup terima sebagai warisan bangsa yang kaya. Jadi, jangan khawatir untuk mendaki Ceremai ya, Kawan! Jangan lupa juga untuk tetap menjaga kebersihannya!

Mengutip ungkapan seorang novelis Amerika, Jack Kerouac, “Because in the end, you won’t remember the time you spent working in the office or mowing your lawn. Climb that goddamn mountain!” Aku selalu berharap bisa mendaki puncak-puncak indah di negeri tercinta, Indonesia. Sebelum aku mati.

Tuhan Terimakasih atas semua yang Kau beri Tanah Air ini,
Kekayaan alamnya, ramah masyarakatnya, lezat makananny
 Bantu kami menjaganya

Ceremai, si mistis nan eksotis, terimakasih atas jamuanmu.


Tidak ada komentar: