Orang bilang, sehat itu mahal harganya. Bukan soal nominal, tapi lebih pada kenikmatan sehat itu sendiri.
Kawan, hari ini (Senin, 28/9/2014) akhirnya aku merasakan bagaimana sensasi opname di rumah sakit. Ini adalah pengalaman pertamaku.
Kawan, hari ini (Senin, 28/9/2014) akhirnya aku merasakan bagaimana sensasi opname di rumah sakit. Ini adalah pengalaman pertamaku.
Begini ceritanya. Sejak kecil, aku tak pernah lepas dari pilek. Sudah berobat ke sana ke mari, tapi tak ada hasil berarti. Sudah tak tahu berapa jumlah obat yang kutelan cuma buat urusan hidungku yang mampet ini. Ya akhirnya aku cuekin saja.
Hingga suatu hari pada Maret 2013 teman kerjaku memberi saran untuk gurah. Semacam memasukkan ramuan tradisional ke hidung untuk memancing lendir supaya keluar. Anak temanku itu berhasil sembuh dari pilek karena digurah.
Akhirnya pada Sabtu, 23 Maret 2013 aku putuskan untuk mencoba pengobatan gurah ini. Tempatnya di rumah seorang ustadz di daerah Bangka, dekat Kemang. Aku berdua dengan temanku saat itu.
Usai gurah, sang ustadz lalu menyuruh kami untuk minum air kelapa hijau untuk memperlancar proses pengeluaran lendir. Awalnya aku merasa hidungku lebih plong, tapi tak lama kemudian aku merasa telingaku sangat penuh. Sejak saat itu aku mulai merasa ada yang tak beres dengan organ dalam kepalaku.
Beberapa bulan kemudian aku kembali lagi ke tempat gurah itu. Mungkin setelah kedua kali akan lebih baik, pikirku. Tapi ternyata tak ada perubahan berarti. Aku kembali menempuh jalur medis. Ya, lagi-lagi harus berurusan dengan dokter THT. Aku sebenarnya malas berhubungan dengan dokter THT, terutama karena harganya yang mahal. Tapi mau tak mau kulakukan karena aku mulai merasa tak nyaman.
Aku coba berobat ke RS Family Medical Center (FMC) Bogor dengan dr. Krishna Budhi, Sp, THT. Beliau memberiku obat dan menyarankan untuk dilakukan fisioterapi khusus telinga. Jadi telingaku dipanaskan dengan alat semacam shower untuk mengencerkan lendir di dalam telingaku. Aku menjalani fisioterapi sebanyak lima kali. Selama lima hari berturut-turut aku harus mampir ke rumah sakit sebelum berangkat kerja. Diagnosis awal aku menderita sinusitis.
Dari pengobatan itu, aku tak merasakan hasil yang berarti. Hidungku masih sering mampet, telinga terasa penuh, ditambah saat ini kepalaku selalu pusing. Kujalani aktivitasku dengan kondisi demikian kurang lebih satu setengah tahun.
Akhirnya, pada September 2014 aku berobat ke RS Khusus THT - Proklamasi, Jakarta. Berdasarkan rekomendasi yang kubaca di beberapa blog, rumah sakit ini adalah yang terbaik untuk urusan THT. Sepertinya memang benar demikian, setelah aku kunjungi situs web-nya, dokter-dokter di sini rata-rata bergelar doktor, bahkan profesor.
Kunjungan pertama aku bertemu dengan dr. Averdi Roezin, Sp, THT. Kuceritakan soal apa yang kurasakan dan diagnosis pemeriksaanku sebelumnya. Beliau memintaku foto rontgen terlebih dahulu. Anehnya, setelah beliau membaca hasil foto tersebut, tidak ada yang bermasalah dengan hidung dan telingaku. Saluran sinusnya pun relatif bersih. Hanya pilek biasa, katanya. Kemudian beliau memberiku obat.
Kurang puas karena tidak ada perubahan, dua minggu kemudian tepatnya Sabtu, 27 September 2014 aku kembali lagi ke RS Proklamasi. Kali ini aku bertemu dengan dr. Mustafa, Sp, THT. Karena berdasarkan pemeriksaan sebelumnya sinusku tidak bermasalah, maka untuk kali ini aku akan fokus untuk urusan telinga.
Telingaku diperiksa oleh dr. Mustafa. Sama seperti yang sebelum-sebelumnya, beliau tidak menemukan adanya masalah. Cuma ada sedikit infeksi, cukup diobati. Setelah itu beliau menyaranku untuk fisioterapi. Aku menolak karena aku sudah pernah menjalani itu dan tidak berhasil.
Sejurus kemudian, dr, Mustafa memerintahkan asistennya untuk mengambil sebuah kartu nama lalu memberikannya padaku. "Besok temui beliau di sini, jam 6 sore," pintanya. Kubaca kartu nama tersebut. Tertera di situ dr. Naswanto, ahli bedah endoskopi. Yap, ini yang kucari, kataku dalam hati.
Sore itu aku memutuskan ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan yang rencananya akan kukerjakan pada Senin yang akan datang. Aku khawatir setelah bertemu dr. Naswanto aku langsung dirawat inap dan pekerjaanku belum selesai.
Keesokannya, aku minta ditemani ayah ke RS Proklamasi. Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 14.00 WIB. Sebelumnya, kami mampir dulu ke Jakarta Gems Center di Rawa Bening, Jatinegara. Aku membeli ikatan batu cincin. Aku memang mulai gemar memakai batu cincin.
Usai dari Rawa Bening, kami langsung meluncur ke rumah sakit. Aku kemudian mendaftar ke bagian resepsionis untuk bertemu dr. Naswanto. Kamudian kami sholat maghrib terlebih dahulu.
Menunggu sekitar 15 menit, akhirnya namaku dipanggil. Ternyata dr. Naswanto masih cukup muda dibandingkan dengan dokter-dokter lain di sini. Rambutnya agak gondrong, gaul. Setelah kuceritakan masalahku, dia langsung memeriksa telingaku. Dengan alat periksa yang sudah dilengkapi kamera mikro, aku bisa melihat keadaan dalam telingaku melalui sebuah layar di sudut atas ruangan. "Bagus, tidak ada masalah. Gendang telinga dan tulang pendengaranmu juga tidak bermasalah," katanya.
Aku terus gencar bertanya. Bagaimana mungkin tidak ada masalah sedangkan hidungku terus-menerus mampet, telingaku terasa penuh dan kepalaku pusing bukan main. Lalu beliau memeriksa hidungku. Menurutnya saluran sinusku juga tidak bermasalah. Tunggu, ada diagnosis lanjutannya. "Hmmm, tulang hidungmu bengkok. Ini mempengaruhi udara yang masuk jadi tidak seimbang. Ini sudah bertahun-tahun, bawaan lahir. Kalau mau sembuh harus operasi," katanya. Kemudian beliau menjelaskan bahwa tidak serta-merta setelah operasi semua keluhanku akan hilang. Butuh proses, katanya.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyetujui untuk dilakukan operasi. Karena aku berencana membayar dengan asuransi, dr. Naswanto membuat catatan yang katanya agar semua tindakan yang dilakukan nantinya akan ter-cover oleh asuransi. Sebab menurutnya, operasi tulang hidung bengkok tidak terdaftar dalam asuransi. Dalam kondisi itu aku sangat bersyukur karena beliau bersedia membantu. Dan, malam itu aku langsung diminta untuk rawat inap. Aku akan dioperasi besok jam 7 pagi.
Pra Operasi
Setelah keluar dari ruangan dr. Naswanto, aku segera mengurus administrasi rumah sakit. Aku juga diminta untuk rontgen dada dan tes laboratorium. Setelah semuanya usai, aku diminta untuk menandatangani formulir pembiayaan yang akan di-cover oleh asuransi Pan Pacific yang bekerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja. Kulihat tagihan biayanya Rp 16 juta. Wow, angka yang fantastis untuk ukuranku. Alhamdulillah, aku bersyukur karena semuanya tidak menggunakan uang pribadiku.
Tak lama kemudian, seorang petugas resepsionis memakaikan gelang pasien dan mengantarku ke ruang rawat inap. Lantai 2, kelas bronze, ruang 304. Cukup nyaman. Kamar itu berisi empat tempat tidur dengan masing-masing lemari kecil di sebelahnya, enam kursi tungu, dua AC dan dua kipas angin, serta kamar mandi.
Kami lapar, kami meminta izin kepada perawat untuk membeli makan di luar. Mereka mengizinkan dan aku diharuskan kembali paling telat jam sepuluh malam. Kami makan nasi goreng di depan Tugu Proklamasi. Malam itu ayahku memutuskan pulang terlebih dahulu untuk mengambil semua kebutuhanku. Beliau akan kembali esok paginya. Karena ruangan tempatku menginap kosong, jadilah malam itu aku tidur sendiri.
Seumur-umur aku baru pernah dirawat di rumah sakit. Mataku tak bisa terpejam, padahal esoknya aku akan dioperasi. Aku baru bisa tidur jam 01.00 WIB, dan mulai saat itu aku tidak boleh makan minum hingga operasi usai.
Saat Operasi
Senin, 29 September 2014, sekitar pukul 05.00 WIB aku dibangunkan oleh seorang perawat untuk periksa pernafasan. Seharusnya itu dilakukan tadi malam, karena aku sudah terlanjur tidur maka pemeriksaan dilakukan pagi ini.
Setelah periksa pernafasan. Aku kembali ke kamarku untuk mandi. Di tempat tidurku sudah tersedia satu set pakaian operasi berwarna biru. Usai mandi, aku segera memakai pakaian itu. Ada perasaan aneh saat aku memakainya. Aku takut bahwa ini adalah pakaian terakhirku, aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tepat pukul tujuh, seorang perawat menjemputku untuk menuju ruang operasi. Saat itu ayahku belum juga tiba. Aku menitipkan barang bawaanku kepada perawat. Di ruang operasi, aku melihat dr. Naswanto telah siap bersama timnya. Aku kurang tau pasti berapa jumlah mereka saat itu. Kalau boleh kukira-kira, mungkin sekitar sepuluh orang.
Aku diminta untuk naik ke meja operasi. Kuingat saat itu ada empat orang di dekatku. Satu di dekat kepalaku yang memintaku untuk berdoa, satu di sebelah kananku yang mengendurkan ikatan bajuku, dan dua di sebelah kiriku yang memasangkan jarum dan botol infus di tangan kiriku. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.
Pasca Operasi
Rasanya baru lima menit aku tertidur di ruang operasi. Aku sadar saat ada seseorang bilang, "Fajri, kita pindah kamar ya." Sesaat kemudian aku merasa badanku diangkat dan dipindahkan ke tempat lain. Sekilas aku melihat ayah.
Rasanya haus sekali saat itu. Belum pernah aku merasakan haus seperti itu. Pernah aku mengalami dehidrasi karena kehabisan air saat turun gunung, tapi rasanya tak sehaus itu. Ingin aku buka mata dan minta minum, tapi tak bisa. Mata tak mau terbuka, pandangan kabur dan mulut sulit sekali bicara.
Akhirnya aku mulai sadar pukul 11:30 WIB. Itupun mungkin baru separuh. Kulihat cairan infus masuk melalui selang di tanganku. Aku langsung minta minum pada ayah. Saat air masuk ke tenggorokan, di saat bersamaan hidungku mengeluarkan darah. Aku sempat panik dan memanggil suster. Ia menenangkanku, katanya itu biasa karena hidungku ditutup kertas tampon. Jadi napas, makan dan minum hanya bisa lewat tenggorokan.
Dari suster aku baru tahu, ternyata setelah operasi pasien memang tidak boleh diberi minum walaupun kondisinya sehaus apapun. Bisa bahaya, katanya. Satu lagi, beberapa saat pasca operasi pasien tidak boleh tidur menggunakan bantal.
Saat itu aku percaya bahwa relativitas waktu benar-benar ada. Lima menit yang aku rasakan dalam kondisi tidak sadar ternyata empat jam dalam keadaan sesungguhnya. Aku menganalogikan dengan apa yang agama bilang bahwa satu hari di neraka sama seperti seribu tahun di dunia. Aku percaya.
Sore harinya mama dan adik-adikku datang. Kehadiran mereka sangat menghiburku. Sayangnya tak semua bisa menginap. Ayah, mama dan Aura (adikku paling kecil) pulang ke rumah. Sementara itu Lia (adikku yang pertama) tinggal di rumah sakit menemaniku.
Selama tiga hari di rumah sakit kegiatanku hanya makan, minum obat, sholat, tidur, dan internetan. Buku yang kubawa tak banyak membantu. Rasanya pusing bila membaca buku. Untung perawat di sana ramah-ramah. Mereka melayaniku dengan sangat baik.
Akhirnya Rabu, 1 Oktober 2014, tepat di hari ketiga aku diperbolehkan pulang. Sebelumnya kertas tamponku dikeluarkan dari hidung. Jujur, aku sangat deg-degan saat fase ini. Pasalnya berdasarkan pengalaman beberapa orang yang kubaca di blog, saat tampon dibuka hidung terasa sangat perih. Tapi ternyata semua kekhawatiranku tak terbukti. Tampon dikeluarkan dan tidak ada rasa sakit sama sekali. Hidungku terasa plong. Darah segar mengalir dari hidungku. Dokter memintaku kembali untuk kontrol enam hari kemudian.
Setelah itu aku diminta menunggu di kamar sembari petugas mengurus surat-surat dan asuransiku. Tak lama, datang suster membawa obat-obat dan surat kepulangan. Aku masih harus menunggu.
Sekitar pukul 16:30 WIB, aku diberitahu bahwa asuransiku sudah selesai diurus. Aku diminta ke kasir untuk menandatangani formulir asuransi. Aku dibuat terkejut lagi. Total biaya selama tiga hari di rumah sakit Rp 21,2 juta. Ternyata biaya yang Rp 16 juta cuma untuk operasinya saja, termasuk dokter anestesi dan kamar bedah. Aku cuma diharuskan membayar Rp 300 ribu untuk obat yang tidak diklaim oleh asuransi.
Kuberitahu kawan, ternyata hal paling vital dalam pembedahan adalah anestesi. Banyak kegagalan operasi bukan pada proses pembedahannya, tapi lebih kepada kesalahan analisa daya tahan tubuh pasien. Hal itu menyebabkan cairan anestesi yang disuntikkan ke tubuh pasien tidak bekerja optimal sehingga pembiusan tidak berjalan dengan baik. Wajar saja kalau harganya mahal.
Setelah semuanya usai, aku pulang ke rumah tercinta. Aku istirahat di rumah selama empat hari sebelum mulai bekerja kembali.
Pengalaman operasi tulang hidung ini memberi banyak pelajaran untukku. Semua yang kita miliki tak ada harganya bila kita sakit. Hal paling penting, jangan pernah menyimpan penyakit. Kalau sakit, segera obati. Soal sembuh atau tidak, itu murni urusan Allah. Aku selalu berharap diberi kesehatan jasmani dan rohani agar bisa menjalani tugas sebagai anak manusia secara maksimal.
Selesai di Bogor, 18 Oktober 2014
Pukul 11:51 WIB
Pukul 11:51 WIB
3 komentar:
Selamat pagi mas.....apakah saya bisa berkomunikasi dengan mas fajri? Karena saya juga sedang mengalami hidung bengkok tapi masih mencari informasi ttg operasi ini..ini email saya mas : oktavianus.kunady81@gmail.com ,terima kasih mas...(oktavianus)
Apakah setelah operasi, sekarang kondisi telinganya membaik....karena saya juga disarankan operasi di proklamasi krn tulang hidung bengkok shg telinga sakit dan agak berdenging...mohon pencerahan...trmksh
Mas saya mau tanya selama kita sinus sblm d operasi mulut berbau gak krna hidung kita trsumbat gtu trmksh 🙏
Posting Komentar