Musim hujan, tapi pengen liburan. Kemana ya?
Itu kira-kira yang gue alami sebulan terakhir. Kesibukan kantor emang bisa bikin enjoy, tapi tetap pada akhirnya gue juga butuh refreshing. Setelah berselancar di dunia maya, akhirnya gue mutusin buat pergi ke suatu tempat. One day trip di akhir pekan, biar sisa liburnya buat istirahat.
GUNUNG PADANG. Pernah dengar? Kalo buat yang baru pernah dengar, pasti pikirannya langsung melayang ke sebuah kota di Sumatera Barat yang terkenal dengan Rumah Gadangnya: Padang.
Tapi sayang banget, gue harus ngerusak lamunan indah kalian, karena tebakan kalian salah. Gunung Padang itu adalah situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Hah, terbesar di Asia Tenggara? Iya, lebih besar dari Borobudur dan umurnya jauh lebih tua dari Piramida Giza, Mesir. Penasaran? Yuk ikuti cerita perjalanan gue.
***
Kita semua adalah produk sejarah. Masa kini pun akan menjadi sejarah. Cuma mereka yang bisa menghargai sejarah lah yang kelak akan bersejarah.
“Dit, Jalan yuk! Pengen liburan nih,” gue nge-BBM Adit ngajakin liburan.
Adit ini adalah sohib karib gue sejak SMA. Kita sering travelling bareng-bareng. Awalnya doi ngajakin ke Pulau Seribu, tapi gue enggan. Secara kan lagi musim hujan, arus laut juga pasti kencang, nyari penyakit. Oh ya FYI, Si Adit ini adalah Sarjana Pendidikan Geografi. Jadi pengetahuannya tentang segala hal yang berhubungan dengan geografi cukup mumpuni menurut gue.
Tiba-tiba aja gue ingat soal pesan teks Adit tempo hari yang isinya ngajakin gue ke Gunung Padang. Tanpa ba bi bu, gue langsung browsing tentang lokasinya termasuk aksesnya dari Jakarta. Berdasarkan beberapa blog, ada yang nyaranin naik kereta dan apa juga yang bilang lebih gampang naik motor. Adit maunya naik kereta karena pengen ngerasain sensasinya. Tapi setelah kami diskusi soal plus minusnya, akhirnya kami mutusin naik motor aja. Gue juga ngajak Mas Dedi, teman kantor gue yang juga penasaran sama Gunung Padang.
***
Sabtu pagi, 10 Januari 2015, kami janjian kumpul di gerbang Pemkab Bogor, Cibinong. Jam 05:45 WIB Mas Dedi ngabarin gue kalo dia udah sampai di lokasi. Gue langsung meluncur. Sayangnya Adit kesiangan, dia baru bangun jam enam. Akhirnya kami baru berangkat jam setengah tujuh pagi.
Kami berempat. Gue, Mas Dedi, Adit dan Iis (istrinya Adit). Melewati Jalan Raya Bogor – Tajur - Ciawi – Puncak, jam 08:30 WIB kami sampai di Cipanas. Adit yang belum sarapan minta berhenti sebentar buat beli bubur ayam. Ngeliat asap bubur panas, gue juga jadi ikutan lapar. Akhirnya kami makan bubur berjamaah. Rp. 8 ribu per porsi, dan rasanya, beuuuuuuuhhhhh: biasa banget.
Kelar sarapan, kami melanjutkan perjalanan. Jam setengah sepuluh kami sampai di perempatan Cianjur, langsung kami ambil jalur menuju Sukabumi. Akhirnya kami tiba di Polsek Warung Kondang. Karena belum tahu lokasi persisnya, kami bertanya pada OmPol, panggilan gaulnya Om Polisi.
Stasiun Lampegan |
Setelah mendapatkan info dari OmPol, kami langsung menuju lokasi yang ditunjuk. Nggak jauh dari Polsek Warung Kondang, ada papan petunjuk menuju situs megalitikum tersebut. Jaraknya 20 km. Sebelum ke Gunung Padang, kami mampir ke Stasiun Lampegan dulu. Stasiun kuno pemilik terowongan pertama di Jawa Barat yang dibangun pada tahun 1879-1882.
Terowongan Lampegan
|
Menurut cerita, nama Lampegan asalnya dari kata yang sering disebutkan oleh Beckman ketika memeriksa hasil pekerjaan pegawainya. Setiap melihat pegawai yang sedang bekerja di dalam terowongan, dia sering berteriak mengingatkan kepada pegawainya untuk tetap membawa lampu agar lebih aman dari bahaya kurangnya zat asam. "Lamp pegang...., lamp pegang," dia mengingatkan dalam campuran bahasa Belanda dan Indonesia. Maksudnya adalah agar pegawai membawa lampu. Di terowongan itu udaranya masih lembab dikarenakan lubang terowongan yang hanya ada satu. Akhirnya, terowongan ini disebut "Terowongan Lampegan".
(id.wikipedia.org)
(id.wikipedia.org)
Sekitar 45 menit perjalanan dari Warung Kondang, kami sampai di Lampegan. Gue langsung ngeluarin kamera, pata-poto sana-sini. Puas jepret semua sudut stasiun, kami langsung lanjutin petualangan menuju tujuan utama: Restoran Padang. Eh salah, Gunung Padang maksudnya. Maklum lah, udah waktunya makan siang. Hehe.
Nah, selama perjalanan dari Stasiun Lampegan ke Gunung Padang kudu banyak-banyak istighfar. Jalannya rusak parah, Bro. Untungnya pemandangan sekitarnya keren abis, jadi bisa ngehibur hati. Perpaduan Gunung Gede Pangrango dan bukit-bukit yang mengelilinginya dengan perkebunan teh adalah kombinasi yang luar biasa.
“Keren banget, Jri. Cuma jalanannya doang rusak. Kalo di luar negeri mah udah di rombak nih jalan,” gerutu Mas Dedi. Maklum, Mas Dedi ini termasuk backpacker kelas dunia. Doi udah keliling-keliling bawa tas ransel ke beberapa negara.
***
Kiri: Jalur Ziarah, Kanan: Jalur Biasa |
Sekitar jam 11:30 WIB kami sampai di gerbang Gunung Padang. Perlu tancap gas beberapa menit lagi untuk menuju parkiran. Kami langsung memarkir motor dan menuju loket buat beli tiket. Tarif parkir Rp. 5 ribu, sedangkan tarif masuk area situs Rp. 4 ribu. Nah, karena ini wisata sejarah, percuma juga kalo kami cuma datang dan nggak ngerti apa-apa. Akhirnya kami mutusin buat sewa jasa guide, tarifnya Rp. 50 ribu. Murah kalo dibandingin sama pengetahuan yang kami dapatkan.
Batu Duduk
|
Kang Yandi, nama guide yang memandu kami. Kalo gue kira-kira, umurnya sekitar 40 tahunan. Di awal perjalanan, Kang Yandi menanyakan jalur pendakian mana yang bakal kami pilih. Buat menuju zona inti, ada dua jalur pendakian. Pertama jalur ziarah (jalur asli) dengan panjang jalur 180 meter dan memiliki 369 anak tangga, kedua jalur biasa (jalur buatan) dengan panjang jalur 300 meter dan 709 anak tangga. Kami pilih jalur ziarah buat ngerasain sensasinya, sayang banget jauh-jauh cuma buat nyantai. Agak sombong sih, tapi begitu lah kami. Haha.
Teras 1 |
Setengah pendakian kami mulai ngos-ngosan. Akhirnya sekitar 15 menit mendaki kami sampai di Teras 1. Di sini terdapat Batu Gamelan, berbentuk lonjong dengan diameter segi lima. Kalo dipukul, batu ini mengeluarkan suara layaknya suara gamelan. Batu ini diyakini digunakan sebagai pengiring saat ritual. Puas memotret, gue melanjutkan ke Teras 2. Di sini terdapat Batu Duduk yang menghadap langsung ke Gunung Gede Pangrango. Dahulunya, batu ini diyakini sebagai tempat mencari petunjuk.
Naik ke Teras 3, ada Batu Kujang dan Batu Tapak Maung. Disebut Batu Kujang karena di batu tersebut terdapat relief yang menyerupai kujang, senjata khas Jawa Barat. Sedangkan pada Batu Maung terdapat cetakan seperti jejak telapak kaki harimau.
Batu Gamelan |
Di Teras 4 terdapat Batu Gendong. Batu tesebut dipercaya sebagai batu pengujian. Barangsiapa yang berhasil mengangkatnya, berhak naik ke teras tertinggi, Teras 5. Tapi saat gue ke Teras 4, Batu Gendongnya sedang diamankan, kata Kang Yandi sih gara-gara belum lama ini ada pengunjung yang ketiban pas coba ngangkat. Oh ya, kata Kang Zaenuddin, salah satu tokoh setempat yang gue temui di saung sekitar situs, berat Batu Gendong selalu beda-beda tergantung siapa yang ngangkat.
Batu Kujang |
Kang Zaenuddin juga ngejelasin, Gunung Padang identik dengan angka 5. Buktinya, gunung ini punya lima teras, dikelilingi lima gunung, dan sebagian besar batunya berdiameter segi lima. Soal makna angka 5, Kang Zaenuddin menyerahkan sepenuhnya pada pengunjung. Tapi yang jelas, menurut doi angka 5 adalah simbol kesempurnaan spiritual.
Lanjut naik ke Teras 5. Nah, ini tempat spesial. Mungkin dulunya cuma boleh dipakai sama para pembesar-pembesar aja. Di sini ada susunan batu yang dianggap sebagai singgasana. Formasi batu-batu tersebut membentuk lingkaran dengan satu batu besar sebagai sandaran yang menghadap langsung ke Gunung Gede Pangrango.
Batu Maung |
Kata Kang Yandi, di 2015 ini bakal ada pembebasan lahan warga buat kepentingan ekskavasi besar-besaran. Puas menikmati Gunung Padang, kami turun lewat jalur biasa yang lebih landai. Pas sampai di bawah, kami minum air dari sumur purba yang dinding-dindingnya dibuat dari batu andesit yang sama dengan yang ada di teras-teras atas. Seger banget.
Kami istirahat sebentar di pusat informasi. Gue keliling tempat itu sambil ngelengkapin data buat tulisan ini. Pas capeknya hilang, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Curug Cikondang. Di perjalanan, kami berhenti sebentar buat sholat dzuhur.
Batu Singgasana
|
***
Jalan dari Gunung Padang ke Curug Cikondang lebih rusak dari akses Stasiun Lampegan ke Gunung Padang. Mas Dedi aja sampe turun dari motor gara-gara pant*t-nya kesakitan pas lewatin jalan berbatu. Jalan rusak model begini emang kudu jadi PR pemerintah. Sayang banget kan tempat wisata bagus tapi jalan aksesnya rusak.
Sekitar jam 14:30 WIB kami sampai di Curug Cikondang. Ternyata tempatnya beda banget sama yang gue bayangin. Awalnya sih gue ngebayangin kalo lokasinya ada di tempat tinggi yang udaranya dingin gitu, tapi ternyata itu cuma aliran sungai kecil yang mengarah ke tebing curam, dan jadilah Curug Cikondang. Kami nitip motor di warung klontong dekat jalan masuk curug.
Buat masuk ke tempat ini, pengunjung dikenakan biaya Rp. 5 ribu. Nggak mahal sih kalo dibandingin sama pemandangan yang disuguhin. Sayangnya, air terjun ini belum dikelola oleh pihak yang berwenang dan masih dikelola oleh warga sekitar.
Curug Cikondang
|
Agak lucu nih, ternyata jalur masuknya dari puncak air terjun. Jadi kami harus turun dulu supaya bisa nikmatin air terjunnya. Pas lihat air meluncur dari ketinggian, tanpa dikomando tangan gue langsung ngeluarin kamera dan monopod. Jepret sana-sini, bergaya ini itu. Karena gue emang nggak niat basah-basahan, gue cuma pata-poto doang. Awalnya sih yang lain pada mau nyebur, tapi nggak jadi. Puas nikmatin Curug Cikondang, kami balik lagi ke warung tempat kami nitip motor.
Lafaaarrr. Kami baru ingat kalo kami belum makan. Gue, Mas Dedi dan Iis pesan seblak, Adit nggak lapar katanya. Ini perdana gue makan seblak. Harganya cukup Rp. 6 ribu aja satu porsi.
Saat itu jam 15:30 WIB, kelar makan kami langsung bergegas. Haduh, motor kehabisan bensin. Untungnya di depan warung itu ada yang jualan bensin eceran. Rp. 9 ribu per liter. Gapapa lah lebih mahal, daripada kudu dorong-dorong motor.
Berdasarkan rekomendasi bapak-bapak yang ada di warung, kami pulang mengambil jalur berbeda supaya nggak perlu putar balik. Kami ambil jalur jurusan Cibeber. Di tengah perjalanan kami sempatkan sholat ashar dulu.
Jalur dari Curug Cikondang ke Cibeber juga Masya Allah. Rusak banget, Bro. Cuma ya itu, karena pemandangan di kanan kirinya keren banget jadinya nggak kerasa deh. Jam 18:00 WIB kami sampai di Cianjur Kota. Kami langsung tancap gas ke arah Cipanas. Kami sholat maghrib di musholla dekat restoran Rindu Alam 2. Selesai sholat, perjalanan kami lanjutkan.
Berhubung malam Minggu, malas juga kan kalo langsung pulang. Akhirnya kami mampir ke Masjid At-Ta'awwun. Ada yang selalu gue kangenin dari masjid ini, ciloknya. Jadi di halaman parkirnya itu banyak yang jualan cilok, dan menurut gue rasanya pecah banget, Bro.
Habis parkir motor, gue langsung meluncur ke akang cilok. Goceng dapat lima. Pas banget kan, dingin-dingin sambil makan cilok. Habis makan, gue lanjut sholat isya.
Selesai sholat kami langsung bergegas pulang. Adit kepalanya pusing, dia tancap gas duluan. Habis nganter Mas Dedi, jam 23:00 WIB gue sampai di rumah. Alhamdulillah selamat tanpa kekurangan suatu apapun.
Kita kaya bukan karena harta
Kita bahagia bukan karena gemerlap dunia
Tapi hati dan jiwa
Berjalanlah, jejakilah penjuru bumi
Kelak kau takkan menyesal saat mati
Satu lagi tanah negeri ini gue jejaki. Berharap semakin banyak tempat eksotis di Indonesia yang terus gue kunjungi. Salam lestari!
Bogor
Minggu, 18 Januari 2015
Minggu, 18 Januari 2015
1 komentar:
Mantap men. Kenangan yang ga pernah terlupakan. Haha
Posting Komentar