Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam
terbanyak di dunia. Selain Islam, di Indonesia juga diakui secara resmi
beberapa agama lainnya; Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Di samping
itu, Indonesia juga memiliki ratusan suku, ras dan etnis yang berbeda. Dengan
kondisi tersebut, sudah barang tentu diperlukan adanya sikap toleransi yang
tinggi untuk tetap bisa hidup berdampingan dengan damai.
Sikap toleransi tersebut juga diatur dalam
perundang-undangan di Indonesia. Tujuannya jelas, jika ada pihak-pihak yang
mencoba mencederai perdamaian agar segera dilakukan proses hukum dengan
seadil-adilnya. Sudah seyogyanya pula aturan ini ditaati oleh semua lapisan
bangsa dan ditegakkan sebaik-baiknya.
Pernyataan saya di atas terkait dengan dugaan penistaan
al-Qur’an yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
di depan warga Kepulauan Seribu pada 27
September 2016. Sementara, ia beragama Kristen. Dalam pernyataannya, Ahok menyitir
Surah al-Maidah ayat 51 yang kemudian memancing ketersinggungan umat Islam
karena dianggap sudah melewati batas. Sebagai informasi, kandungan surat
al-Maidah ayat 51 berisi tentang larangan bagi umat Islam untuk memilih
pemimpin non muslim.
Polemik tersebut berujung pada diadakannya “Aksi Bela Islam” pada 14 Oktober 2016 yang dikomandoi oleh Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab. Aksi yang diikuti oleh sekitar lima ribu umat Islam itu menuntut agar Ahok diproses hukum karena sudah menistakan ayat suci al-Qur’an. Diawali dengan sholat Jumat di Masjid Istiqlal, massa kemudian bergerak menuju Bareskrim Mabes Polri dan Balaikota DKI Jakarta. Aksi ini menuai pro dan kontra di masyarakat karena sebelumnya Ahok sudah menyempaikan permohonan maaf.
Polemik tersebut berujung pada diadakannya “Aksi Bela Islam” pada 14 Oktober 2016 yang dikomandoi oleh Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab. Aksi yang diikuti oleh sekitar lima ribu umat Islam itu menuntut agar Ahok diproses hukum karena sudah menistakan ayat suci al-Qur’an. Diawali dengan sholat Jumat di Masjid Istiqlal, massa kemudian bergerak menuju Bareskrim Mabes Polri dan Balaikota DKI Jakarta. Aksi ini menuai pro dan kontra di masyarakat karena sebelumnya Ahok sudah menyempaikan permohonan maaf.
Sejak aksi tersebut, bukannya polemik mereda justru semakin
memanas. Hal itu disebabkan pemerintah dan Polri dianggap kurang serius menanggapi
tuntutan “Aksi Bela Islam”. Dengan demikian, para ulama merencanakan “Aksi Bela
Islam II” yang dijadwalkan pada 4 November 2016 dengan jumlah massa yang jauh
lebih besar, termasuk dari berbagai daerah di Indonesia. Banyak yang menebak
bahwa aksi ini akan ditunggangi oleh kepentingan politik. Namun, alasan
utamanya adalah umat Islam yang menuntut keadilan atas dugaan penistaan kitab
sucinya.
Banyak sekali informasi mengenai aksi tersebut yang masuk ke
ponsel saya. Baik melalui pesan berantai di Whatsapp Messenger, Blackberry
Messenger, ataupun artikel di Facebook dan Instagram. Saya termasuk orang yang
sangat selektif terhadap demonstrasi. Waktu kuliah dulu pun cuma ikut beberapa
saja. Tapi, sungguh aksi damai 411 (baca: empat November) sangat menarik
perhatian saya.
Dengan sedikit pemahaman agama yang saya miliki, jika ada
orang bersalah meminta maaf maka sebaiknya kita maafkan, pun tidak masalah
kalaupun tidak. Tapi, dibalik pemberian maaf atas “kekhilafan” Ahok, saya
memandang bahwa hukum atas perkara ini harus ditegakkan. Tujuannya jelas, agar
Bhinneka Tunggal Ika tak ternodai. Proses hukum adalah bukti negara serius
melawan pihak-pihak yang berpotensi memecah belah bangsa. Akhirnya saya
berkeputusan untuk turun langsung pada aksi damai 411.
Dalam memandang aksi tersebut, bagi saya tak ada
pertimbangan lain selain untuk membela kesucian al-Quran dan penegakan hukum. Mengenai
pilgub DKI, saya tak memiliki kepentingan karena saya bukan warga DKI. Paling
saya cuma mengingatkan kawan-kawan muslim yang berdomisili DKI terkait
kewajiban memilih pemimpin muslim. Kenapa? Karena Allah SWT telah melarang
dalam al-Qur'an yang seharusnya menjadi pedoman setiap muslim. Sudah, itu saja
alasannya. Bagaimana kalau tetap memilih yang non-muslim? Simpel saja, berarti
dia bukanlah muslim yang taat. Karena sudah melanggar hukum, pasti ada
hukumannya entah di dunia atau di akhirat.
Soal pilihan kawan-kawan non muslim, saya dan muslim manapun
tidak bisa masuk ke ranah tersebut. Alasannya jelas, mereka pun mempunyai hak
untuk memilih berdasarkan kriterianya. Indonesia itu negara demokrasi. Dalam
konsep demokrasi, siapa saja boleh menjadi pemimpin. Siapapun, beragama apapun,
berprofesi apapun, dari suku manapun. Boleh. Kenapa begitu? Ya karena kita
tinggal di Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Keharmonisan ini harus
tetap terjaga sebagai cita-cita besar Bangsa Indonesia.
Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah umat muslim tidak
boleh melarang non-muslim ikut dalam kontes politik, karena itu jelas
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Hanya saja, sebagai muslim tidak
diperkenankan memilih pemimpin non-muslim. Bagi para penganut agama lain
silakan saja, tidak menjadi persoalan.
Jumat, 4 November 2016
Setelah mengajukan cuti dadakan Kamis malam, ba’da shubuh
saya sudah mempersiapkan segala sesuatu yang akan saya pakai dan bawa ke aksi
damai. Sekitar jam 8 pagi, Fajar, teman SMA saya, datang ke rumah. Kami memang
sudah janjian untuk datang bersama ke aksi tersebut. Tak lama kemudian kami
berangkat.
Suasana di Stasiun Depok |
Para peserta aksi memenuhi gerbong Kereta Commuter Line |
Siang itu Istiqlal yang konon merupakan masjid terbesar di
Asia Tenggara sudah tak mampu menampung jumlah jamaah yang begitu banyak. Tapi
kami mencoba untuk tetap masuk. Akhirnya kami hanya bisa sholat di pelataran
lantai dua. Siang itu jalan-jalan di sekitar Istiqlal jadi masjid dadakan bagi
massa yang tidak kebagian tempat di dalam area masjid.
Usai sholat, Ustadz Bachtiar Nasir selaku penanggung jawab
aksi menyampaikan aturan dan rute aksi. Kemudian setelah itu Habib Rizieq Syihab
mencontohkan mars “Aksi Bela Islam II” yang akan diteriakkan sepanjang long march. Takbir menggema berkali-kali
di langit-langit Istiqlal. Bulu kuduk merinding dibuatnya, mata memerah menahan
ghiroh agama yang meletup-letup. Usai
mencontohkan mars, Habib Rizieq meminta jamaah keluar masjid dengan tertib
melalui pintu al-Fatah. Walaupun cenderung tertib, tetap saja antrean keluar
masjid tak bisa dihindari karena membludaknya jumlah jamaah. Saya yang sudah
mulai kehabisan napas mengajak Fajar dan Ghofur keluar dari antrean. Kami
memilih makan siang dulu di pelataran pintu keluar.
Suasana di dalam Masjid Istiqlal usai sholat Jum'at |
Kondisi Jalan Medan Merdeka Barat sudah disesaki oleh para
peserta aksi yang ingin mendekat ke mobil komando tempat dilakukannya orasi
oleh para tokoh. Karena ingin mendengarkan orasi, kami terus mendekat menuju
titik kumpul. Penuh perjuangan tentunya. Kami harus merangsek di tengah
kerumunan massa. Sampai akhirnya kami sudah tidak bisa bergerak lagi pada jarak
sekitar 50 meter dari mobil komando.
Satu persatu tokoh menyampaikan orasinya. Ada Habib Rizieq
Syihab tentunya, Fachri Hamzah, Fadli Zon, Rhoma Irama, Lily Wahid, Ratna
Sarumpaet hingga Ahmad Dhani. Sementara perwakilan aksi yang masuk ke istana
dipimpin oleh Ustad Bachtiar Nasir. Saya sempat merasa panggung orasi tersebut
bernuansa politik, tapi saya langsung meluruskan niat hanya untuk membela
al-Qur’an dan menegakkan keadilan. Sekitar pukul 16:30 WIB, dikabarkan bahwa
Presiden Jokowi tidak berada di istana dan akan digantikan oleh Wakil Presiden
untuk menemui perwakilan aksi. Sontak massa menolak dan bersikukuh untuk
ditemui oleh Presiden. Akhirnya, kembali terjadi negosiasi. Saat itu juga
beberapa kali terjadi gesekan antara aparat dengan orang-orang yang
terprovokasi. Hasilnya, beberapa provokator berhasil diamankan Laskar FPI dan
diserahkan ke pihak kepolisian.
Para peserta aksi antusias mendengarkan orasi |
Kiri: Ghofur, Kanan: Fajar |
Berfoto dengan aparat kepolisian |
Hari itu saya jadi bagian dari aksi yang bersejarah. Aksi
dengan massa terbesar sejak era reformasi. Aksi yang digerakkan langsung oleh
Sang Pemilik Hati kepada hamba-hambanya yang rela mati demi membela agama Ilahi.
Semoga bangsa dan negara ini selalu dilindungi dari kaum-kaum yang zalim. Amin ya Robbal ‘alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar