Papandayan, Sebuah Perjalanan Melepas Rasa

Adakalanya kita harus menepi. Melepas rasa, mendinginkan pikiran dan hati.

Hari Pertama (Jumat, 8 Maret 2013)

Malam itu langit cukup cerah. Sepulang kantor, aku segera menuju rumah seorang sahabat di bilangan Kelapa Dua, Depok. Adit namanya. Jumat pagi sebelum berangkat kerja, aku menitipkan tas carrier-ku di rumahnya agar tak perlu lagi pulang ke rumah. Aku tiba di rumah Adit sekitar pukul 21.30 WIB. Usai Repacking, kami langsung berangkat menuju terminal Kp. Rambutan yang merupakan titik berkumpul tim Green Shelter (nama tim pendakian kami).

Setelah beberapa lama menunggu kawan-kawan lain datang, akhirnya malam itu terkumpul 11 orang yang akan menggantungkan satu mimpi di puncak Papandayan. Mereka adalah Bonny, Gopal, Zuebec, Dimas, Adit, Fajri (penulis), Aisyah, Lina, Putri, Titin dan Ratna. Tepat pukul 24.00 WIB, kami berangkat menuju Garut menggunakan bus Karunia Bhakti.

Hari Kedua (Sabtu, 9 Maret 2013)

Kami tiba di terminal Guntur, Garut sekitar pukul 04.15 WIB. Langit masih gelap saat itu. Kami memutuskan mencari masjid untuk sholat subuh dan istirahat sejenak. Usai shalat subuh, Bonny, Gopal, dan Dimas mencari toko peralatan outdoor untuk membeli tenda. Ya, kami kekurangan tenda untuk camping. Pasalnya, salah seorang teman kami yang memiliki tenda batal ikut. Sementara itu, Zuebec, Aisyah, dan Ratna pergi ke pasar untuk membeli perlengkapan logistik yang kurang. Sedangkan aku, Adit, Putri, dan Lina menunggu di masjid. Setelah semua kekurangan lengkap, kami segera repacking untuk memaksimalkan muatan carrier kami.

Setelah selesai, kami langsung sarapan. Menu pagi itu, nasi kuning, lontong tahu, dan nasi rames. Tinggal pilih sesuai selera. Usai sarapan, kami segera bersiap menuju kaki Gunung Papandayan. Kami men-carter mobil elf menuju desa Cisurupan. Dari mobil, aku bisa menikmati suasana alam Garut yang eksotis. Benar kata ungkapan, lansekap Garut layaknya Swiss di Eropa sana. Pemandangan hijau berpadu dengan  tebing-tebing kapur putih. Perpaduan yang sempurna.

Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami tiba di Desa Cisurupan, pintu masuk menuju kaki Papandayan. Dari Cisurupan, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil pick-up. Untuk menuju kaki Papandayan pendaki harus melewati jalan berbatu. Selama perjalanan, kami saling bercanda dan bersenda gurau. Suasana bertambah hangat setelah Gopal mengeluarkan rujak buatannya yang dibawa dari rumah. Jadilah kami ngerujak sambil menikmati pemandangan Gunung Papandayan yang perlahan mulai mendekat.

Sepanjang jalan banyak anak-anak SD yang melambaikan tangan kepada setiap pendaki yang lewat. Kami pun menyambut lambaian tangan mereka. Tiba-tiba rasa bahagia dan bangga menyusup dalam dadaku. Aku merasa seperti pahlawan yang akan dilepas menuju medan perang. Aku cinta negeri ini dan segala pelik yang ada di dalamnya.

Setelah melewati jalan berbatu sekitar 45 menit, akhirnya kami tiba di pos pendakian Gunung Papandayan yang berada pada ketinggian 2000 mdpl. Saat itu pos pendakian dipenuhi oleh para pendaki. Maklum, libur panjang. Kebanyakan mereka akan nge-camp di pos Pondok Salada. Tapi kami memutuskan untuk mendirikan kemah di Tegal Alun, sekitar beberapa puluh meter dari puncak tertinggi Gunung Papandayan.

Tujuannya, kami ingin merasakan sensasi yang berbeda. Aku membayangkan akan sangat menyenangkan mendirikan tenda di tengah padang edelweiss. Ya, Tegal Alun adalah salah satu padang edelweiss terindah di Indonesia dengan luas sekitar 50 hektar.

Sebelum mulai mendaki kami berdoa sejenak memohon keselamatan hingga bisa kembali berkumpul bersama keluarga di rumah. Setelah berdoa, sekitar pukul 11.30 WIB kami mulai menapaki tanah Gunung Papandayan.

Baru sekitar sepuluh menit melangkah, kami sudah disuguhkan oleh pemandangan kawah yang terus-menerus mengeluarkan asap. Untuk melewatinya kami harus menggunakan masker. Aku yang sudah lama tidak naik gunung, merasakan medan ini sangat berat. Jalan berbatu, udara panas, dan bau belerang cukup untuk membuat kepala pusing. Walaupun demikian, kami menyempatkan diri untuk berfoto di sela perjalanan.

Kawah Papandayan

Setelah sekitar 1,5 jam mendaki, kami tiba di pos Hutan Mati. Dulunya sebelum letusan tahun 2002, kawasan ini merupakan hutan lebat. Tapi ketika Papandayan meletus, lahar yang melewati kawasan ini membakar pepohonan yang ada di sekitarnya. Namun, batang-batang pohon tersebut tetap awet hingga kini, menghasilkan pemandangan yang luar biasa indah. Kayu-kayu hitam tegak berdiri di atas tanah bercampur kapur. Kombinasi hitam putih yang sempurna. Di hutan mati juga terdapat sebuah danau sulfur yang memanjakan mata pendaki. Aku dan Gopal mengisi botol air minum di Pondok Saladah, sementara yang lainnya menunggu sambil beristirahat.

Hutan Mati, Papandayan
Setelah puas menikmati kemegahan Hutan Mati, kami melanjutkan perjalanan menuju Tegal Alun. Jalur dari Hutan Mati menuju Tegal Alun cukup sulit untuk dilewati. Tanah putih bercampur belerang menanjak dengan kemiringan hampir 70 derajat harus dilalui para pendaki untuk mencapai tempat yang katanya merupakan salah satu surga yang tercecer ke bumi itu. Jalur itu dinamakan Tanjakan Mamang.

Saat kami melewati tanjakan tersebut, kondisi cuaca sedang hujan sehingga membuat perjalanan semakin sulit. Sekitar pukul 16.30 WIB, setelah berjalan menanjak sekitar dua jam dari Hutan Mati, akhirnya kami tiba di Tegal Alun. Semerbak bunga edelweiss langsung menusuk hidungku. Saya takjub melihat hamparan bunga abadi itu diselimuti kabut sore Papandayan. Pohon edelweiss di Tegal Alun sangat rimbun. Tanahnya juga dihiasi rumput khas pegunungan yang tumbuh sejumput-sejumput. Sejenak aku terdiam melihat pemandangan yang menakjubkan itu.

Karena udara sangat dingin ditambah langit yang masih saja menurunkan air, kami segera mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, aku segera mengganti pakaian yang basah. Kemudian aku menuju ke sumber air untuk berwudhu. Sekali lagi aku dibuat takjub. Sumber air di Tegal Alun layaknya sebuah taman. Berbentuk seperti selokan yang dasarnya ditumbuhi rumput-rumput hijau. Mereka bergerak-gerak mengikuti aliran air. Di sekelilingnya terdapat jajaran bukit dan ratusan pohon edelweiss.

Tegal Alun, Papandayan
Usai berwudhu aku shalat di samping tenda. Dalam hati aku berkata, "Ini adalah suasana sholat terindah seumur hidupku." Bagaimana tidak, aku menghadapkan wajah kepada Yang Maha Kuasa di tengah padang edelweiss, disertai angin dingin yang membelai anak-anak rambut. Sungguh suasana yang menggetarkan hati.

Saat matahari mulai masuk ke peraduannya, kami masak untuk makan malam. Hangatnya persahabatan sangat terasa saat kami masak bersama dan makan di dalam tenda. Usai makan, kami masuk ke dalam sleeping bag masing-masing untuk menjemput mimpi di surga dataran tinggi tanah Pasundan ini. Aku berniat akan bangun dinihari untuk menikmati pertunjukan langit.

Hari Ketiga (Minggu, 10 Maret 2013)

Sekitar pukul 04.00 WIB aku bangun. Udara sangat dingin waktu itu, sekitar 4 derajat celsius. Aku membangunkan Adit yang katanya juga ingin melihat taburan bintang. Setelah kami keluar tenda, ternyata kabut tebal dan langit sedang mendung saat itu. Tak lerlihat apa-apa. Bahkan headlamp kami hanya mampu menembus beberapa meter saja. Udara juga sangat dingin. Baru lima menit kami keluar tenda, rasanya jari-jariku membeku.

Akhirnya kami memutuskan untuk masuk  ke dalam tenda dan melanjutkan tidur. Pukul 05.30 WIB aku bangun dan segera berwudhu untuk kemudian sholat. Setelah itu satu-persatu temanku keluar dari tendanya. Kami mulai bersiap-siap memasak untuk sarapan pagi. Di sela-sela itu, aku memilih keliling Tegal Alun untuk berfoto.

Setelah masakan tersaji, kami sarapan bersama ditemani kabut pagi Tegal Alun. Senda gurau kami pun tak pelak membuat suasana semakin hangat. Usai makan kami kembali bernarsis ria. Berfoto dan merekam video yang membuat kami lupa waktu.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB. Kami mulai berbenah. Tujuan selanjutnya adalah tebing Guberhut untuk menikmati sunset dan sunrise. Kami tidak melanjutkan perjalanan ke puncak Papandayan karena berdasarkan informasi, tak banyak yang bisa dinikmati di puncak. Hanya sebuah lahan kecil dikelilingi pohon-pohon. Padahal untuk menuju puncak hanya butuh waktu sekitar satu jam dari Tegal Alun.

Usai packing, kami mulai turun dari Tegal Alun pukul 10.00 WIB. Seperti biasa, perjalanan turun selalu lebih cepat. Satu jam berjalan, kami sudah tiba di Pondok Saladah. Ya, untuk mencapai Gubehut kami harus melewati Pondok Saladah terlebih dahulu. Mendaki lagi sekitar 45 menit dari Pondok Saladah, kami tiba di Guberhut. Ternyata tempat itu adalah sebuah puncak tebing mengarah ke kawah Papandayan dan Gunung Cikuray.

Hujan mengguyur deras saat kami tiba di Guberhut. Kami buru-buru memasang fly sheet untuk berteduh. Setelah hujan mulai mereda, kami segera mendirikan tenda dan masak untuk makan siang. Dan benar saja, sore harinya kami disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Mentari senja menggantung di antara puncak Papandayan dan Cikuray. Ketika kami menggeser pandangan beberapa derajat ke arah sebuah bukit, ternyata ada pelangi yang menanti untuk dipandang. Sore itu, ada rasa yang berbeda dalam dadaku. Perasaan bahagia tak terkira. Menyatu dengan kebesaran Tuhan sehingga melihat segalanya menjadi kecil.

Malam mulai menjelang. Aku kembali menghadapkan wajah kepada Tuhan di tengah lebatnya hutan, dinginnya udara pegunungan, dan gelapnya malam. Kami mulai memasak untuk makan malam. Sekitar pukul 22.00 WIB, tiba-tiba Adit teriak memanggilku. "Jri keluar, Jri. Bintang Jri, Bintaaang." Mendengar teriakannya, aku yang sudah berada dalam sleeping bag langsung lompat keluar.

Begitu menatap langit, aku terpana melihat pertunjukan yang luar biasa indahnya. Memandang ke atas, jutaan bintang seakan-akan keluar bersama kepulan asap kawah Papandayan yang terlihat berwarna keunguan. Memandang ke bawah, kerlip lampu kota Garut seakan-akan menari menemani malam kami. Adit yang hobi fotografi, mengabadikan momen indah itu. Setelah puas memandangi langit, kami masuk tenda untuk beristirahat.

Hari Keempat (Senin, 11 Maret 2013)

Pukul 04.30 WIB kami bangun. Aku segera bersih-bersih kemudian sholat. Sumber air di Guberhut ini kami dapatkan dari selang-selang air penduduk yang bocor. Usai sholat, kami langsung berlarian menuju bibir tebing di Guberhut. Pasalnya, sang mentari mulai menampakkan keindahannya di antara Papandayan dan Cikuray. Kami mengabadikan momen emas tersebut dengan berfoto. Tak lupa, kami juga syuting Harlem Shake yang sedang ngetren itu. Hehe.

Sunrise di Guberhut
Puas menikmati sunrise, para lelaki bersiap-siap untuk berangkat menuju Tegal Panjang, padang sabana yang katanya luar biasa indah di Papandayan. Para wanita tangguh sengaja tidak ikut lantaran medan menuju Tegal Panjang lumayan berat. Hanya Titin yang ikut karena saking tangguhnya. Hehe. Sisanya tetap di tenda dan menyiapkan makanan untuk makan siang.

Pukul 07.15 WIB, kami mulai menapaki jalan setapak menuju Tegal Panjang. Ada perasaan menggebu di dalam dadaku. Pasalnya, aku belum pernah mengunjungi padang sabana. Lantaran jarang dilalui pendaki, kami harus membuka jalur terlebih dahulu. Aku yang sebelum berangkat mengganti celana training dengan celana pendek, harus menyesal tingkat nasional (gaya omongan ala ababil, hehe). Kenapa? Karena sepanjang perjalanan menuju Tegal Panjang kami seringkali dihadang tanaman berduri. Betisku sudah sangat perih.

Namun selama perjalanan, kami disuguhkan dengan pemandangan hutan tropis yang sangat memukau. Kicau burung, lumut yang menempel di batang pohon, dan cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah dedaunan merupakan kombinasi yang mengagumkan pagi itu.

Setelah berjalan naik turun lebih kurang dua jam, akhirnya kami sampai juga di Tegal Panjang. Cuma perasaan takjub yang aku rasakan saat itu. Padang sabana puluhan hektar terpampang di depan mata menyuguhkan pemandangan yang luar biasa; kombinasi rumput yang tengah menghijau dan mulai menguning. Seperti biasa, kami mengabadikan momen kebersamaan kami di Tegal Panjang sembari melahap perbekalan yang kami bawa.


Tegal Panjang, Papandayan

Puas menikmati suasana Tegal Panjang, kami kembali menuju tenda di Guberhut. Tak ku sangka, ternyata perjalanan pulang lebih cepat, padahal lebih banyak trek menanjaknya.

Sekitar pukul 12.00 WIB, kami sudah sampai di tenda. Nyusss, bau masakan langsung tercium sejak kami mulai mendekati tenda. Benar saja, ternyata para wanita tangguh itu baru selesai masak untuk makan siang. Tanpa ba bi bu, kami langsung melahapnya bersama-sama. Dan lagi-lagi, kurasakan kebersamaan yang luar biasa. 

Mari kuberitahu Kawan, di gunung uangmu sama sekali tak banyak berarti! Hanya kebersamaan yang bisa menghangatkanmu.

Usai makan, aku bergegas sholat zuhur. Beberapa teman memilih untuk merebahkan badannya terlebih dahulu. Tepat pukul 14.00 WIB, kami mulai membongkar tenda lalu kemudian packing. Usai packing, kami mulai bergegas turun menuju pos awal pendakian. Tak lupa kami kembali membawa turun semua sampah yang kami hasilkan selama di atas gunung.

Di tengah perjalanan, aku disuguhkan pemandangan tak biasa. Sebuah sungai kecil yang dialiri air bercampur belerang. Putih, layaknya sungai susu. Sekitar pukul 17.00 WIB kami tiba di pos awal pendakian. Bonny selaku leader pendakian langsung mencari mobil bak terbuka untuk membawa kami ke pintu gerbang desa Cisurupan.

Sungai Susu, Papandayan

Satu jam kemudian kami sudah tiba di Cisurupan. Tanpa membuang waktu, kami langsung mencari angkot yang menuju ke terminal Guntur, Garut. Sempat terjadi ketegangan karena banyaknya calo angkot yang melambungkan harga begitu tinggi. Akhirnya, dengan setengah memaksa, salah satu angkot bersedia mengantar kami ke terminal dengan harga yang kami mau.

Pukul 19.00 WIB kami tiba di terminal Guntur. Aku langsung membongkar carrier dan mengeluarkan sisa pakaian bersih lalu segera bergegas menuju kamar mandi umum. Byuurrrrr, segar sekali rasanya saat air menyiram tubuhku. Bayangkan Kawan, sejak awal mendaki Papandayan, aku hanya cuci muka, wudhu, dan sikat gigi. Tidak mandi sama sekali. Aku ingat terakhir kali mandi pada Jumat pagi sedangkan aku turun gunung Senin sore. Ya, 3 hari aku tak mandi. Hehe. Maka jika bisa ku gambarkan, sentuhan air di kamar mandi umum itu bagai sentuhan air dari Telaga Kautsar di surga sana. (wuih lebay)

Usai mandi aku lekas sholat dan mencari makan bersama Adit. Padahal sepulang dari Tegal Panjang aku sempat makan, tapi rasanya seperti tak makan berhari-hari. Lapar sekali. Dan, sepiring nasi goreng cukup untuk menenangkan cacing-cacing di dalam perut.

Sekitar pukul 22.00 WIB, kami mulai menaiki bus jurusan Kp. Rambutan untuk kembali ke kampung halaman tercinta. Selama di bus, aku benar-benar tertidur pulas. Saat bangun, aku melihat jam menunjukkan pukul 01.00 WIB, Selasa dinihari. Saat itu bus sudah berada di pintu masuk terminal. Tak terbayang bagaimana kencangnya bus melaju. Garut - Jakarta hanya ditempuh dalam 3 jam. Oh my god, untungnya aku tertidur pulas, jadi tak perlu merasakan perut yang terkocok akibat bus yang melaju begiu kencang.

Setelah bus berhenti, kami menurunkan bawaan masing-masing. Usai memanjatkan doa syukur atas kelancaran pendakian kali ini, tim mulai berpencar. Aku memilih untuk menginap terlebih dahulu di rumah Adit untuk melepas lelah.

Papandayan berikan pesonanya. Laksana Swiss dipindahkan ke Jawa. Gugusan gunung kapur dan kawahnya benar-benar manjakan mata. Edelweisnya basahi kering jiwa. Mampu menjadi pengobat bagi mereka yang rindu rengkuhan Sang Pencipta melalui keindahan alamnya.

Tidak ada komentar: